"Wacana kebijakan tersebut harus ditinjau ulang," kata Helmy kepada wartawan di Jakarta, Rabu.
Sebelumnya, pemerintah berencana mengeluarkan peraturan untuk menarik zakat 2,5 persen bagi ASN Muslim. Rencana itu sedang digodok secara internal di Kementerian Agama untuk menjadi undang-undang.
Menurut Helmy, ada beberapa catatan mendasar yang harus diperhatikan seperti persoalan kewajiban zakat sendiri yang merupakan kewajiban pribadi. Maka dalam menunaikan zakat, sifatnya juga individual.
"Tentang zakat setiap warga negara sebaiknya diserahkan kepada masing-masing individu. Negara tak perlu memaksa-maksa, karena Indonesia bukan negara agama. Begitu pula dengan sholat, puasa, adalah urusan manusia dengan Tuhannya," katanya.
Lebih lanjut, kata dia, penting juga untuk dikaji lebih dalam mengenai pertimbangan Indonesia yang bukan negara agama.
"Negara yang bhinneka, kebijakannya juga harus mempertimbangkan kebhinnekaan," ujarnya.
Catatan lain yang perlu diperhatikan, kata dia, adalah soal mekanisme dan transparansi pengelolaan dana zakat yang sudah terkumpul. Bukan tidak mungkin hal itu menjadi masalah besar.
"Belum lagi bagi sebagian ASN sudah memiliki pos-pos mustahik sendiri," tuturnya.
Dia mengatakan jika pemerintah berkukuh menerapkan kebijakan pemotongan tersebut maka sebaiknya pemotongan tersebut dimasukkan bagian dari pajak penghasilan sehingga tidak membayar ganda yaitu untuk pajak penghasilan dan zakat.
"Kalaupun pemerintah ikut memfasilitasi zakat ASN, maka sebaiknya perlu dipikirkan pembayaran zakat itu dapat dikonversikan sebagai bagian dari pajak penghasilan," imbuhnya.
Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018