Jakarta (ANTARA News) - Ketua Dewan Etik Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Bagir Manan, menyampaikan bahwa terkait pelaksanaan Hari Pers Nasional (HPN) agar diserahkan kepada Dewan Pers.... sedih, kok kepala institusi wartawan seperti itu...
“Hak pelaksanaannya serahkan ke Dewan Pers saja,” kata dia, melalui keterangan resmi diterima di Jakarta, Senin.
Menurut dia, Dewan Pers yang berkantor di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, adalah milik seluruh konstituen kewartawanan di Indonesia.
“Bahwa panitia pelaksana nantinya bukan unsur Dewan Pers, tapi oleh salah satu ketua atau pengurus dari organisasi lain tidak masalah, yang penting kepanitiaan dikoordinasi Dewan Pers,” ujar Bagir.
Diketahui, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), mendesak agar pelaksanaan HPN direvisi.
Terutama menyangkut tanggal, di mana 9 Februari sejatinya itu adalah hari kelahiran organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Peringatan tahunan ini mulai dilakukan setelah Presiden Soeharto mengeluarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 5/1985 yang menetapkan tanggal itu sebagai HPN.
Setelah Soeharto lengser menyusul gerakan reformasi 1998, ada sejumlah perubahan penting yang terjadi.
Dalam bidang media, hal itu ditandai dengan lahirnya UU Nomor 40/1999 tentang Pers.
Sejumlah regulasi Orde Baru di bidang pers juga dikoreksi, termasuk di antaranya adalah pencabutan SK Menter Penerangan Nomor 47/1975 tentang pengakuan pemerintah terhadap PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan di Indonesia.
Kelahiran UU Nomor 40/1999 tentag Pers juga mendorong organisasi profesi lain wartawan bermunculan, selain perusahaan media-media baru.
Sebelumnya regulasi media cetak diatur ketat melalui Peraturan Menteri Penerangan Nomor 01/Per/Menpen/1984 Tentang Ketentuan-Ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers.
Ketentuan soal SIUPP ini juga akhirnya dicabut pemerintah pada 1999. Tapi, HPN tetap 9 Februari mengacu hari lahir PWI. Padahal saat ini organisasi wartawan bukan hanya PWI.
Dia menilai, gejolak ingin keluar dari kungkungan PWI itu masuk akal karena saat ini organisasi wartawan tidak tunggal.
Dia mengaku paham gejolak penggantian tanggal itu dipicu ulah Ketua Umum PWI, Margiono, yang tidak memiliki etika yang kuat karena terjun ke politik praktis sebagai calon bupati Tulungagung tapi masih menjabat ketua umum PWI.
Hal ini dinilai mencederai etika independensi wartawan dan menjatuhkan kredibilitasnya.
“Ya Margiono merasa perlu untuk tampil pidato di depan presiden, dengan memberikan pujian supaya mencerminkan bahwa dia mendukung Jokowi dan berharap dapat dukungan pencalonannya,” kata Bagir.
Tapi, alih-alih memanfaatkan pidato yang elegan, dia menilai ketua umum PWI malah melakukan stand-up comedy.
“Saya sedih, kok kepala institusi wartawan seperti itu,” katanya.
Sejatinya bahwa pertemuan di Solo pada 1949 itu bukan hanya membahas soal PWI tapi itu kali pertama membahas tentang pra-perjuangan.
Hanya kebetulan saja bareng acara PWI, tapi justru ajang pembahasan penting untuk tonggak perjalanan dunia kewartawanan berikutnya.
Manan tidak bisa menyepakati mana yang lebih pas apakah Februari atau November pelaksanaan yang sesuai. Masing-masing memiliki alasan dan landasan yang bisa diperdebatkan.
“Kalau paling gampang kapan tonggak pers, tapi tidak ketemu titiknya, bagaimana kalau HPN disamakan dengan sejak republik ini berdiri saja, 17 Agustus. Biar sepakat dan tak ada yang merasa paling benar,” ujarnya.
Ia menyarankan agar permasalahan ini disampaikan ke pemerintah agar dibahas bersama.
Pewarta: Sella Gareta
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2018