Secara geografis, Kampung Loloan terbagi menjadi dua wilayah kelurahan yaitu Loloan Timur dan Loloan Barat, dengan tradisi melayu yang berasal dari nenek moyang masyarakat setempat sejak ratusan tahun lalu.
"Masalah atau penyebab yang dominan semakin menyusutnya jumlah rumah panggung Loloan, akibat bagi waris. Rumah panggung peninggalan orang tua dijual, kemudian uang hasil penjualan dibagi antar ahli waris rumah tersebut," kata H. Musadat Johar, salah seorang budayawan dan tokoh masyarakat Loloan, Selasa.
Dengan tradisi masyarakat seperti itu, katanya, bisa dipastikan dari waktu ke waktu jumlah rumah panggung semakin berkurang, yang saat ini bentuk hunian dengan arsitektur tersebut merupakan minoritas di tengah rumah berarsitektur modern.
Dari pembangunan rumah baru yang dilakukan masyarakat Loloan saat ini, ia mengatakan, sudah tidak ada lagi yang memilih rumah panggung sebagai pilihan bentuk tempat tinggal, yang sudah berlangsung selama beberapa generasi.
"Setelah generasi saya, tidak ada lagi yang membangun rumah panggung. Dengan dijual karena faktor bagi waris ditambah tidak adanya pembangunan baru, tidak lama lagi rumah panggung akan punah," katanya.
Untuk membangun rumah panggung, seperti yang disampaikan Musadat dan beberapa masyarakat Loloan lainnya, memang dibutuhkan biaya yang jauh lebih besar dibanding membangun rumah model sekarang.
Bahan dasar rumah panggung adalah kayu, yang beberapa jenis saat ini sudah sulit dicari bahkan bisa dikatakan sudah tidak ada lagi di Bali.
Menurut Musadat, tiang-tiang utama rumah panggung rata-rata menggunakan kayu jenis tangi, yang pada rumah panggung yang asli tidak terdapat sambungan hingga belasan meter.
"Jadi kayu penyangga utama itu utuh sampai panjangnya mencapai belasan meter. Saat ini tentu sangat sulit mencari kualifikasi kayu seperti itu, kecuali memesan dari daerah lain yang tentu dengan harga yang mahal," katanya.
Model Sulawesi atau Sumatera
Kayu-kayu pilihan rumah panggung dengan model bangunan seperti di daerah Sulawesi dan Sumatera tersebut memiliki daya tahan hingga ratusan tahun seperti yang masih dimiliki keluarga Musadat Johar.
Ia mengatakan, rumah panggung peninggalan datuknya (bahasa Kampung Loloan untuk kakek atau nenek), masih bertahan hingga kini yang usianya diperkirakan sekitar 300 tahun.
"Kalau dihitung sampai cucu saya, rumah panggung itu sudah bertahan selama tujuh generasi. Memang ada beberapa perbaikan, tapi tiang-tiang utamanya tetap menggunakan kayu yang digunakan sejak awal pembangunan," katanya.
Sebagai pilihan model, ia mengatakan, rata-rata rumah panggung Loloan mengambil model Sulawesi atau Sumatera, karena tidak lepas dari asal usul nenek moyang masyarakat setempat yang berasal dari daerah tersebut.
Dua model itu, menurutnya, bisa dibedakan dari jumlah anak tangga yang digunakan yaitu dengan lima sampai tujuh anak tangga untuk model Sulawesi dan sembilan anak tangga untuk model Sumatera.
Dari sejarah yang tercatat, masyarakat Kampung Loloan berasal dari Suku Melayu yang datang ke wilayah Jembrana ratusan tahun lalu, yang saat itu masih menganut sistem tata negara berbentuk kerajaan.
Mereka datang secara bertahap menggunakan perahu, masuk ke daerah yang saat ini menjadi bagian dari Kota Negara lewat Sungai Ijogading yang bermuara ke laut.
Asimilasi mereka dengan masyarakat bahkan kerajaan setempat berlangsung cepat, termasuk dengan membantu raja kala itu menahan serangan kerajaan lainnya.
Hubungan erat dengan raja saat itu, membuahkan hadiah tanah berhutan di pinggir Sungai Ijogading yang sekarang menjadi Kelurahan Loloan Timur dan Loloan Barat.
Dengan bahan-bahan kayu hutan itu, mereka mendirikan pemukiman dengan bentuk rumah panggung, yang selain bagian dari budaya bawaan mereka juga sebagai pengaman karena saat itu Sungai Ijogading dihuni ribuan buaya.
"Budaya Melayu masih kami gunakan sampai sekarang, contohnya adalah bahasa sehari-hari yang masih menggunakan bahasa Melayu," kata Musadat.
Sayangnya budaya Melayu dari sisi bahasa yang masih digunakan masyarakat Loloan, tidak diimbangi pelestarian budaya dalam bentuk fisik seperti rumah panggung.
Untuk menyelamatkan aset budaya yang hanya ada satu di Pulau Bali ini, Musadat berharap campur tangan pemerintah agar rumah panggung tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, tapi bisa mendapatkan peran yang lebih luas seperti menjadi penginapan budaya, rumah baca maupun fungsi-fungsi lainnya yang masih berhubungan dengan budaya Loloan.
Ia menilai, masyarakat sekarang dengan gampang menjual rumah panggung, karena menganggap rumah itu tidak memiliki sisi ekonomi, sementara membutuhkan biaya yang tidak sedikit saat perbaikan.
"Tapi kalau dijadikan penginapan semacam home stay, otomatis rumah panggung memiliki fungsi ekonomi sehingga pemilik akan berpikir atau bahkan tidak mau menjualnya. Untuk potensi tamu yang menginap, kan wisata religi di Loloan ini cukup berkembang dengan jumlah pengunjung lumayan banyak. Tinggal pemerintah bersama kami masyarakat sini menyatukan pola pengelolaannya," katanya.
Campur tangan pemerintah, menurutnya, bisa membeli langsung rumah panggung untuk dijadikan penginapan wisata budaya, atau minimal membantu penataan serta pelatihan manajemen sehingga tamu tertarik menginap di tempat tersebut.
Untuk membeli rumah panggung tanpa tanahnya, ia mengatakan, harganya sangat murah jika dibandingkan nilai historis dan pelestarian budaya yaitu antara Rp40 juta hingga Rp70 juta.
"Rumah panggung yang dijual seluruhnya dibawa keluar daerah Jembrana dan digunakan sebagai vila maupun home stay, seperti yang ada di wilayah Pemuteran, Kabupaten Buleleng. Saat melintasi jalan raya Gilimanuk-Buleleng, jika melihat rumah panggung di penginapan wisata sepanjang wilayah itu, rumah itu berasal dari Loloan," katanya.
Dengan bahan yang tidak menggunakan paku untuk menyambungkan namun menggunakan pasak kayu, rumah panggung dengan mudah dibongkar untuk kemudian dipasang lagi.
Kegelisahan mulai menyusutnya jumlah rumah panggung hingga terancam punah, juga dirasakan generasi muda yang tergabung dalam Gerakan Pemuda Loloan (GPL) yang belum lama terbentuk.
Beberapa anggota gerakan ini saat ditemui di rumah baca dengan memanfaatkan rumah panggung yang mereka kelola menyatakan kekhawatirannya, generasi setelah mereka tidak akan lagi menjumpai rumah panggung.
"Pada tahun 2012 saya pernah melakukan pendataan jumlah rumah panggung. Saat itu jumlahnya tinggal 60 unit, yang tentu sudah jauh berkurang saat ini," kata Rahil, salah seorang anggota GPL.
Selain jumlahnya yang terus berkurang, ia mengatakan, rumah panggung sekarang sudah sangat jarang bertahan dengan bentuk aslinya, karena rata-rata sudah dimodifikasi terutama pada bagian bawahnya.
Rumah panggung yang asli, katanya, pada bagian bawah dibiarkan terbuka atau kalaupun ditutup difungsikan sebagai tempat menyimpan kayu bakar atau kandang ternak seperti ayam.
"Sekarang bagian bawah rumah panggung dibangun tembok permanen sebagai tempat tinggal, sehingga kesannya seperti bangunan rumah dua lantai," katanya.
Sama dengan Musadata Johar, untuk pelestarian rumah panggung, Rahil, Ahmad Baraas, Akim dan anggota GPL lainnya minta Pemerintah Kabupaten Jembrana campur tangan dengan menjadikan rumah panggung sebagai salah satu peninggalan budaya.
"Kami juga terus berusaha agar rumah panggung tidak terjual, tapi kalau sudah alasan ekonomi dan bagi waris kami kan tidak punya hak untuk melarang. Lain halnya jika beberapa unit rumah panggung dijadikan aset budaya milik pemerintah, serta sebagai percontohan kalau rumah panggung memiliki nilai ekonomi berkesinambungan dengan menjadikannya penginapan wisata dan budaya," katanya.
Nilai ekonomi berkesinambungan itu, menurutnya, bisa menjadi penangkal bagi pemilik maupun ahli waris rumah panggung untuk tidak menjual aset budaya tersebut sehingga rumah panggung Loloan tetap lestari.
Kepala Bidang Pariwisata, Dinas Pariwisata Dan Budaya Jembrana I Nyoman Wenten saat dikonfirmasi mengatakan, pemerintah tidak perlu sampai harus membeli rumah panggung, tapi masyarakat setempat yang bisa mengelola dengan konsep manajemen desa wisata.
"Di Kabupaten Jembrana banyak terbentuk kelompok masyarakat sadar wisata yang mengelola objek wisata. Nah, masyarakat Loloan bisa membentuk kelompok sejenis untuk mengelola rumah panggung sebagai bagian program desa wisata," katanya.
Untuk mewujudkan hal itu, ia mengatakan, pihaknya siap membantu termasuk dengan pembinaan dan pelatihan, namun harus diimbangi dengan kemauan masyarakat setempat untuk menjadikan rumah panggung sebagai aset budaya dan wisata.
Kemauan dan kesadaran, itulah kunci pelestarian rumah panggung Loloan agar tidak punah dan tinggal cerita bagi generasi selanjutnya.
Kemauan dan kesadaran itu tentu bukan dalam bentuk yang absurd, tapi harus menjadi upaya konkrit baik oleh masyarakat maupun pemerintah yang bisa diawali dengan memfungsikan rumah panggung sebagai penginapan wisata.
Kebanggaan sebagai kelompok masyarakat satu-satunya di Bali yang memiliki warisan budaya rumah panggung juga harus ditanamkan dan menjadi kesadaran kolektif, karena seperti yang disampaikan H.Musadat Johar, saat ini masyarakatnya sudah tidak bangga lagi memiliki rumah panggung.
"Peran serta pemerintah memang penting, tapi yang lebih penting adalah diri kita sendiri, dengan merasa bangga tinggal di rumah panggung. Jangan tinggal apalagi membuat rumah panggung dianggap kuno, karena ini peninggalan para datuk yang harus dibanggakan," katanya.
Pewarta: Gembong Ismadi
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2018