"Beberapa alasan kenapa bahasa daerah punah dan penutur muda terus berkurang karena sikap masyarakat terhadap bahasa daerah itu masih belum terlalu positif," kata Dadang di Jakarta, Rabu.
Dalam Gelar Wicara dan Festival Tunas Bahasa Ibu, Dadang mengatakan, anak-anak muda merasa lebih bergengsi menggunakan bahasa asing atau bahasa Indonesia daripada berbahasa daerah.
Karena itu berbagai upaya dilakukan bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk melestarikan bahasa daerah.
Misalnya membuat kamus bahasa daerah, masukan agar bahasa daerah menjadi muatan lokal di sekolah, mengadakan pelatihan dan penyuluhan serta merancang program yang cocok terutama untuk generasi muda agar jumlah penutur muda tidak terus merosot.
Sikap positif dari keluarga juga perlu ditumbuhkan untuk berbahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan data 2011 sebanyak 79,5 persen rakyat Indonesia sehari-hari masih berkomunikasi dengan bahasa daerah.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa juga telah mengklasifikasikan status bahasa daerah yaitu 19 bahasa aman, 16 bahasa stabil, dua bahasa mengalami kemunduran, 19 bahasa terancam punah, empat bahasa kritis dan 11 bahasa telah punah.
Bahasa yang punah tersebut berasal dari Maluku yaitu bahasa daerah Kajeli/Kayeli, Piru, Moksela, Palumata, Ternateno, Hukumina, Hoti, Serua dan Nila serta bahasa Papua yaitu Tandia dan Mawes.
Sementara bahasa yang kritis adalah bahasa daerah Reta dari NTT, Saponi dari Papua, dan dari Maluku yaitu bahas daerah Ibo dan Meher.
Baca juga: Badan Bahasa baru identifikasi 652 bahasa daerah
Baca juga: Tujuh bahasa daerah di Maluku punah
Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2018