Juru bicara PBB Stephane Dujarric baru-baru ini menyoroti nasib buruk pengungsi dalam taklimat harian kepada wartawan di Markas Besar PBB di New York, AS, dengan mengutip laporan dari Badan Anak-Anak PBB (UNICEF).
Badan PBB tersebut menandai enam bulan sejak lonjakan terakhir pengungsi Rohingya ke dalam wilayah Banglades Selatan mulai akhir Agustus 2017. UNICEF mengatakan banjir akibat topan yang segera tiba "diperkirakan akan merendam kamp rapuh yang tidak memiliki instalasi kebersihan, sehingga meningkatkan kemungkinan penyebaran penyakit yang menular melalui air dan memaksa ditutupnya klinik, pusat pembelajaran dan instalasi lain buat anak-anak".
Baca juga: Amnesty: krisis Rohingya konsekuensi dari "dorongan komunitas untuk membenci"
Menurut UNICEF, sebagaimana dilaporkan Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Senin pagi, sebanyak 185.000 anak Rohingya juga masih berada di Negara Bagian Rakhine di Myanmar, sementara rasa takut terhadap kekerasan membuat sangat banyak kerabat dan tetangga mereka menyelamatkan diri.
Pengungsian besar-besaran itu dimulai setelah dugaan serangan mematikan oleh gerilyawan Rohingya terhadap pos keamanan Pemerintah Myanmar sehingga menyulut aksi pembalasan keras dari penjaga keamanan dan anggota milisi --yang menyulut pengungsian sebanyak 650.000 orang Rohingya ke dalam wilayah Bangladesh.
Badan PBB tersebut memperkirakan ada sebanyak 534.000 pengungsi anak Rohingya mulai tahun lalu dan arus pengungsi sebelumnya ke dalam wilayah Bangladesh. Secara keseluruhan lebih dari 800.000 pengungsi Rohingya diperkirakan berada di Bangladesh.
Ketika ditanya mengenai kepulangan pengungsi ke Myanmar, Dujarric mengatakan mereka hanya bisa pulang ke tempat bekas rumah mereka secara sukarela, ketika mereka merasa aman.
"Tak seorang pun boleh memaksa mereka." kata Dujarric.
Baca juga: Gajah injak dua orang hingga tewas di Kamp Rohingya, Bangladesh
Pewarta: Antara
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2018