Granat usulkan perppu darurat narkoba

28 Februari 2018 03:27 WIB
Granat usulkan perppu darurat narkoba
Polisi menggiring tersangka kasus narkotika berinisial Bras (25) usai gelar perkara, di Atrium Artos Mall Magelang, Jawa Tengah, Senin (26/2/2018). Jajaran Polresta Magelang melakukan gelar perkara kasus narkotika di pusat perbelanjaan agar diketahui banyak orang sekaligus membuat efek jera. (ANTARA FOTO/Anis Efizudini)
Jakarta (ANTARA News) - Ketua Umum DPP Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat), Henry Yosodiningrat, mengusulkan presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Darurat Narkoba mengingat makin maraknya penyelundupan narkoba ke tanah air.

"Presiden berhak untuk mengeluarkan perppu oleh karena itu sudah memenuhi persyaratan sistem ketatanegaraan apabila presiden segera mengeluarkan perppu," katanya, di Jakarta, Selasa malam.

Ia menjelaskan dengan kondisi darurat saat ini kalau dikaitkan dengan sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, kemudian tidak terdapat peraturan perundang-undangan yang cukup atau terjadi kekosongan hukum yang memerlukan penyelesaian penanggulangan secara cepat dengan perundang-undangan. "Maka presiden berhak mengeluarkan perppu," katanya.

Dirinya menjamin fraksi di DPR RI akan mendukung perppu tersebut. "Saya seyakin-yakinnya tidak ada satupun fraksi di DPR yang akan menolak untuk narkoba itu," katanya.

Ia menambahkan darurat narkoba di Indonesia itu sudah lama. "Saya sebelum presiden menyatakan darurat narkoba, saya sejak 10 tahun lalu sudah menyatakan Indonesia darurat narkoba. Sekarang dipertegas lagi oleh presiden," katanya.

Di bagian lain, ia menyatakan ketidaksetujuan dalam RKUHP bahwa terpidana mati yang sudah menjalani hukuman 10 tahun dan berkelakuan baik, maka pidana matinya dapat diubah menjadi 20 tahun. "Itu tidak bisa, tidak bisa, itu tidak benar karena apa yang namanya itu sama saja mengubah mereka yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap, yang berhak mengubah itu ya hakim juga," katanya.

Ia menyoroti persoalan penundaan pelaksanaan eksekusi mati terhadap terpidana narkoba oleh kejaksaan, sama dengan memberikan kesempatan atau melakukan pembiaran terhadap para sindikat yang sudah dipidana mati dan menyemarakkan sindikat narkoba.

"Bahwa dengan ditunda-tundanya eksekusi itu, sama saja dengan memberikan kesempatan atau melakukan pembiaran terhadap para sindikat yang sudah dipidana mati sudah mempunyai kekuatan hukum tetap untuk mengendalikan bisnis narkoba dalam lembaga pemasyarakatan," katanya.

Dia mengaku tidak mengetahui mengapa kejaksaanbelum melaksanaan eksekusi mati jilid IV, jika terkait grasi maka Granat memitna presiden untuk segera menolaknya. "Presiden sendiri sudah jelas mengatakan tidak akan ada grasi. Saya mendesak kepada presiden agar segera mengeluarkan penetapan penolakan grasi," katanya.

Dia menambahkan MA untuk segera menurunkan berapa kalinya seseorang mengajukan PK. "Inikan kondisi bangsa ini darurat narkoba. Sekarang mestinya MA harus peka dong," katanya.

"Karena apa dengan menunda-nunda itu, memberikan kesempatan atau pembiaran terhadap mereka," katanya.

Sebelumnya, Polri bersama Bea Cukai mengungkap kapal Taiwan berbendera Singapura yang menyelundupkan 1,8 ton narkotika jenis sabu di perairan Batam, Kepulauan Riau.

Empat tersangka yang merupakan anak buah kapal (ABK) dan nakhoda ditangkap dalam kasus tersebut. Mereka adalah Tan Mai (69), Tan Yi (33), Tan Hui (43, nakhoda) dan Liu Yin Hua (63) yang merupakan WN Taiwan.

Kemudian, Anggota Satuan Tugas Khusus Kepolisian Indonesia memeriksa MV Win Long yang diduga mengangkut sabu di Dermaga Kantor Wilayah Bea Cukai Kepulauan Riau.

Pewarta: Riza Fahriza
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2018