Pemerintahan Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla saat ini sudah mulai memperhatikan masyarakat adat, tetapi perlu lebih ditingkatkan lagi, utamanya dalam melindungi hak-hak tanah dan adat istiadat mereka, kata Ketua Dewan Pembina Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia, Prof Dr Aminuddin Salle usai melakukan Rapat Kerja di Yogyakarta, Kamis.
Presiden Jokowi belakangan ini cukup aktif memberikan sertifikat tanah kepada petani yang selama ini lahan pertaniannya kurang jelas legalitasnya.
Pemberian sertifikat itu penting, tetapi akan lebih bermakna jika pemerintah segera mendorong Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat dijadikan Undang-Undang, karena dari situlah perhatian pemerintah akan dapat terukur.
Rapat kerja APHA yang dihadiri dari sejumlah anggota seperti Prof Dr Dominikus Rato, dari Fakultas Hukum Universitas Jember, Dr Sulastriyono, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Prof Dr Dewi Wulan Sari dari Universitas Parahiyangan Bandung dan Dr Kunthi dari Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta, membahas program kerja jangka pendek dua tahun ke depan.
Aminuddin, Guru besar dari Fakultas Hukum Universitass Hassanudin itu juga menyoroti banyaknya lahan tanah kehutanan yang saat ini masih dikuasai oleh para konglomerat. Lebih dari 34 juta hektar dari 120 juta ha tanah berada di tangan para konglomerat yang jumlahnya tidak sampai 10 orang.
Oleh karena itu, kata Aminuddin, pembagian sertifikat itu jangan sampai terkesan "politis", jelang Pemilu atau hanya untuk meningkatkan elektabilitas pemilih. Namun, benar-benar membantu para petani dan masyarakat adat secara luas, yakni hak-hak petani harus dikembalikan agar adanya peningkatan kedaulatan pangan.
Menjawab pertanyaan ia mengatakan, tanah milik adat itu sebaiknya tidak perlu disertifikasi semuanya, karena hal itu akan mengkhawatirkan. Pada saat sertifikat sudah di tangan petani, para pemilik modal sudah menunggu untuk dibelinya. Untuk itu, sebaiknya mereka diberi hak pakai sehingga tidak dapat dialihkan ke pihak lain.
Sementara Ketua APHA Indonesia, Dr Laksanto Utomo mengatakan, belum adanya perhatian serius dari pemerintah terhadap masyarakat adat, sehingga berdampak pada banyaknya putusan hakim yang merugikan masyarakat adat.
"Saya belum lama ini melakukan diskusi dengan para komisioner di Komisi Yudisial (KY), kesimpulannya, banyaknya pengaduan anggota masyarakat ke KY karena para hakim belum memahami masyarakat adat. Masyarakat adat disamakan dengan masyarakat tradisional, sehingga oleh hakim sering dikalahkan dalam proses sengketa di Pengadilan Negeri," kata Laksanto Utomo.
Agar putusan hakim senapas dengan masyarakat adat, khususnya di berbagai daerah, APHA akan mengajak Mahkamah Agung (MA) dalam melakukan pendidikan kepada calon hakim maupun dengan para hakim senior.
"Dalam kaitan ini saya secara pribadi sudah mengkomunikasikan dengan pejabat di MA akan pentingnya memasukkan matrikulasi hukum adat ke para calon hakim, dan hakim senior. Atas ajakan itu, MA menanggapi secara serius dan mudah-mudahan dalam waktu dekat dapat dilakukan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara APHA dengan MA," kata Laksanto.
Pewarta: Theo Yusuf
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018