"Agar semua pihak untuk menahan diri dan tidak menjadikan isu penggunaan sebagai alat untuk saling mendiskreditkan dan menyalahkan antarkelompok karena dapat memecah belah persatuan dan kesatuan umat Islam," kata Zainut kepada wartawan di Jakarta, Jumat.
Dia mengatakan MUI menilai masalah pemakaian cadar bagi seorang Muslimah sebagai syarat dan kewajiban untuk menutup aurat adalah masalah cabang dalam agama (furu`iyyat), yang dalam berbagai pendapat para ulama tidak ditemukan adanya kesepahaman (mukhtalaf fihi).
Karena masih terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama (khilafiyah), kata dia, untuk hal tersebut hendaknya semua pihak dapat menerima perbedaan pandangan tersebut sebagai khazanah pemikiran Islam yang dinamis dan menjadikan rahmat bagi umat Islam yang harus disyukuri bukan justru diingkari.
"MUI menilai ada kesalahpahaman sementara pihak yang mengaitkan masalah radikalisme dengan pemakaian cadar, celana cingkrang (isybal) dan potongan jenggot dari seseorang. Pandangan tersebut sangat tidak tepat," kata dia.
Karena radikalisme, kata dia, tidak hanya diukur melalui simbol-simbol aksesoris seperti cadar, celana isybal dan potongan jenggotnya tetapi lebih pada pemahaman ajaran agamanya. Sehingga kurang tepat jika karena alasan ingin menangkal ajaran radikalisme di kampus kemudian melarang mahasiswi memakai cadar.
"Saya khawatir setelah larangan itu kemudian disusul dengan larangan berikutnya yaitu larangan mahasiswa yang memakai celana cingkrang dan berjenggot," kata dia.
Dia mengatakan untuk menangkal ajaran radikalisme harus melalui pendekatan yang lebih komprehensif, baik melalui pendekatan persuasif, edukatif maupun konseling keagamaan yang intensif.
Untuk hal tersebut dia mengatakan MUI meminta kepada semua pihak hendaknya menempatkan masalah ini sebagai sesuatu hal yang wajar, proporsional dan tidak perlu dibesar-besarkan.
Maka, kata dia, setiap pihak agar menyerahkan perkara cadar sepenuhnya kepada pihak rektorat UIN Suka yang memiliki otoritas dan kewenangan mengatur kampusnya, baik melalui berbagai penerapan peraturan yang tidak bertentangan dengan nilai agama, norma susila dan undang-undang yang ada maupun melalui berbagai pendekatan dan solusi yang komprehensif, maslahat dan bermartabat.
"MUI yakin bahwa kita semuanya tidak berharap bahwa kampus menjadi sarang penyebaran paham radikalisme, liberalisme dan tempat yang menanamkan sikap phobia terhadap agama Islam. Tetapi kita semuanya berharap bahwa kampus menjadi tempat persemaian nilai-nilai ajaran Islam yang moderat (wasathiyah) dan Islam yang rahmatan lil `alamiin," kata dia.
Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018