"Silakan dicoba, baru nanti saya beritahu daging mentah itu terbuat dari apa," kata pelayan di restoran gastronomi molekuler Namaaz Dining, Senopati, Jakarta, Kamis (8/3) malam.
Restoran gastronomi molekuler pertama di Indonesia itu menyajikan makanan-makanan yang bentuknya sama sekali berbeda dengan rasanya.
Apa yang terbayang di otak saat melihat penampakan makanannya sering kali tidak cocok dengan rasa di lidah.
"Daging mentah" itu, misalnya, ternyata manis saat dikunyah karena terbuat dari semangka yang dikeringkan selama 18 jam. Kekenyalannya mirip dengan daging mentah dan rasanya serupa asinan semangka.
Ada 17 jenis makanan yang disajikan, dari makanan pembuka, makanan utama hingga makanan penutup.
Setelah daging, muncul kue kering khas Meksiko churros yang ternyata jelmaan dari cireng.
"Banyak orang Jakarta yang lebih tahu churros ketimbang cireng, makanya ini dibuat biar (mereka) makan cireng," kata chef Andrian Ishak, pemilik Namaaz Dining, yang memberi penjelasan untuk setiap menu.
Sebuah kotak berisi telur mentah diberikan kepada masing-masing tamu. Tentu saja isinya bukan telur betulan, melainkan mangga yang teksturnya dibuat mirip seperti kuning telur. Rasanya segar dan manis, seperti puding namun teksturnya lebih lembut dan "pecah" di mulut.
Alasan memasak mangga menjadi berbentuk telur mentah sebenarnya berawal dari permainan kata dalam bahasa Sunda. Telur mentah identik dengan kata "amis", yang dalam bahasa Sunda artinya "manis".
Setelah itu, lilin-lilin berwarna jingga yang berada di atas meja dinyalakan. Ternyata maksudnya bukan untuk membuat suasana jadi romantis karena lilin itu sebenarnya sambal balado, cocolan untuk keripik singkong yang sudah tersedia.
Rasa pedas hadir pula di menu "Cabe-cabean". Bentuknya seperti cabai hijau yang diletakkan di atas potongan rempeyek. "Cabai" itu bisa dipastikan bukan cabai, melainkan ayam tinoransak khas Manado.
Yang tak kalah menarik adalah menu "Udang di Balik Batu". Jika mengandalkan penglihatan, menu tersebut hanya terlihat sebagai tumpukan batu hitam yang lebih cocok jadi dekorasi ruangan. Namun batu tersebut ternyata lembek saat dipegang dan tentu saja bisa dimakan.
Seperti namanya, di balik (tepatnya di dalam) batu terdapat udang sambal roa. Tekstur dan rasanya serupa dengan combro.
Visual yang jauh dari menggiurkan juga ada pada arang hitam legam yang ternyata merupakan kambing guling dan singkong.
Tamu kembali bertanya-tanya ketika piring berisi kertas tebal lembek, pensil dan botol tinta berwarna putih dihidangkan di hadapan mereka.
"Ini opor ayam. Kertasnya itu terbuat dari ayam, pensilnya itu cracker. Cara makannya, gulung kertas dengan pensil, lalu celupkan ke santan," dia memberi instruksi.
Meski sempat membayangkan rasa kayu saat akan menggigit "pensil", rupanya paduan pensil-kertas-tinta ini benar-benar terasa seperti opor ayam.
Yang paling seru adalah explodeng, paduan kata explode (meledak) dan es podeng, yang baru disajikan setelah semua pengunjung mengenakan jas hujan.
Diiringi musik rock dan permainan gitar listrik langsung dari sang chef, pengunjung menikmati ledakan-ledakan kecil dari es podeng yang cipratannya kemana-mana. Belum selesai menunggu letupan itu berhenti, tiba-tiba ruangan diselimuti asap putih dari cairan nitrogen yang dilemparkan sang chef.
Tepuk tangan dari tamu-tamu yang terkesan atas pengalaman baru menikmati es podeng terdengar riuh ramai.
Tertarik untuk mencobanya?
Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018