• Beranda
  • Berita
  • Capres-cawapres tunggal pertanda kemunduran demokrasi, kata pengamat

Capres-cawapres tunggal pertanda kemunduran demokrasi, kata pengamat

16 Maret 2018 03:38 WIB
Capres-cawapres tunggal pertanda kemunduran demokrasi, kata pengamat
Ilustrasi - Warga yang memiliki hak pilih menunjukan surat suara dari dalam bilik suara saat pelaksanaan Simulasi Nasional Pemilihan Umum Serentak 2019 di Sindang Jaya, Tangerang, Banten, Sabtu (19/8/2017). (ANTARA/Muhammad Iqbal)
Jakarta (ANTARA News) - Pengamat dari Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Sunanto mengatakan apabila terjadi pemilihan presiden yang hanya diikuti satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, hal tersebut mejadi pertanda kemunduran demokrasi.

"Saya kira capres dan cawapres tunggal merupakan kemunduran demokrasi di Indonesia, kalau benar-benar terwujud," ujar Sunanto di Jakarta, Kamis.

Menurut dia, kehadiran satu pasangan capres dan cawapres dalam pemilu menggambarkan kegagalan kaderisasi partai politik.

"Dari sekian banyak kader partai, semua suara menumpuk pada satu orang capres dan cawapres. Partai bisa dibilang gagal soal itu," tutur dia.

Baca juga: Pansus Pemilu sepakat hindari munculnya capres tunggal

Baca juga: PPP antisipasi munculnya capres tunggal


Ia membenarkan bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memperbolehkan munculnya satu pasangan capres dan cawapres dalam pemilu.

Namun, Sunanto menilai masyarakat yang akan paling dirugikan jika hanya ada satu pasangan capres dan cawapres yang bertanding melawan kotak kosong.

"Kalau pasangan tunggal ini yang menang, dikhawatirkan nanti pertanggungjawaban kinerja mereka akan dilakukan ke partai, bukan masyarakat. Jadi posisi kepentingan partai ada di atas masyarakat," tutur Sunanto.

Karena itu, ia mendesak partai politik untuk menghadirkan banyak pilihan kandidat capres dan cawapres pada ajang lima tahunan itu.

"Masyarakat juga perlu berkomunikasi dengan para anggota partai agar kandidat tandingan yang diinginkan masyarakat bisa diusung dalam pemilu. Itu juga sekaligus menghindari hilangnya legitimasi suara publik," ungkap Sunanto.

Pewarta: Agita Tarigan
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2018