“Kebohongan yang disengaja di media online merupakan masalah global cukup serius... Itu adalah masalah rumit, yang memengaruhi kita dengan berbagai cara,” kata Ketua Komite dan Wakil Ketua Parlemen Charles Chong di awal sidang, dikutip dari AFP.
Komite parlemen yang terdiri dari 10 anggota dibentuk pada Januari untuk menangani informasi palsu di media online, yang menurut pemerintah dapat mengancam keamanan nasional.
Sekitar 164 orang telah memberikan masukan mereka kepada komite tersebut, termasuk dari kalangan akademisi, perusahaan teknologi dan sosial media seperti Facebook dan Google, serta aktivis hak sipil.
Komite tersebut akan meminta 79 individu dan organisasi untuk bersaksi selama delapan hari, setelah itu mereka diharapkan akan membuat rekomendasi kepada anggota parlemen dalam beberapa bulan.
Beberapa akademisi sudah dipanggil untuk memberikan kesaksian di hari pertama, termasuk ahli konflik siber Michael Raksa, yang menilai serangan siber dan informasi palsu yang beredar di dunia maya dapat memberi dampak politis yang sama seperti serangan militer.
Kritikus memperingatkan bahwa undang-undang untuk mengatasi berita palsu tersebut dapat digunakan untuk memperketat kendali media. Pemerintah Singapura menyatakan mengatasi berita palsu di media daring adalah penting dan membantah langkah tersebut untuk membatasi kebebasan berekspresi.
Singapura terkenal memiliki undang-undang yang ketat untuk mencegah hasutan rasial dan agama, juga undang-undang mengenai fitnah, unjuk rasa dan perbedaan pendapat.
Lembaga independen Reporters Without Border dalam laporan World Press Freedom Index menobatkan negara tersebut berada di posisi 151 dari 180 mengenai kebebasan pers.
Baca juga: Setara desak polisi tindak tegas penyebar hoaks terhadap Presiden Jokowi
Penerjemah: Natisha Andarningtyas
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2018