• Beranda
  • Berita
  • Inggris akui ulama perempuan Indonesia berperan dalam perdamaian

Inggris akui ulama perempuan Indonesia berperan dalam perdamaian

23 Maret 2018 04:25 WIB
Inggris akui ulama perempuan Indonesia berperan dalam perdamaian
Sebuah acara di KBRI London. (ANTARA News/HO)
London (ANTARA News) - Inggris mengakui ulama perempuan Indonesia memainkan peranan kunci dalam membangun perdamaian dan kesejahteraan masyarakat, bahkan dalam sejarahnya mereka juga berkontribusi penting dalam memimpin perjuangan melawan penjajah maupun memimpin kerajaan Islam di Nusantara.

Hal itu terungkap dalam Seminar RISING Women Ulama: Women Leadership for Peace, Prosperity and Pluralism` yang digelar Centre for Trust Peace and Social Relations (CTPSR), Universitas Coventry bertempat di Gedung Parlemen Inggris/House of Lords, London, Kamis.

Fungsi Politik KBRI London Gita Loka Murti kepada Antara London, Jumat,mengatakan seminar diadakan Lembaga Rising Global Forum, menghadirkan sejumlah ulama dan tokoh Indonesia seperti Badriyah Fayumi Munji, Dwi Rubiyanti Kholifah, Professor Azyumardi Azra, Faqiuddin Abdul Kodir, dan Kamala Chandrakirana. Selain kelima ulama dan tokoh Indonesia, juga ada Professor Nishi Mitra vom Berg dari Tata Institute of Social Sciences (TISS), India.

Executive Director CTPSR Professor Mike Hardy, menyatakan seminar merupakan bagian dari RISING Women Event dan sarana berbagi pengalaman mengenai peran perempuan dalam membangun perdamaian di masyarakat yang plural.

Contoh utama yang dikedepankan adalah kasus Indonesia, dimana perempuan dan ulama perempuan telah memainkan peranan kunci dalam membangun perdamaian dan kesejahteraan masyarakat, ujar Profesor Mike Hardy.

Seminar yang dihadiri sejumlah akademisi, anggota Parlemen, NGO, pakar, dan tokoh keagamaan di Inggris keenam pembicara , pada intinya membahas hal-hal peran ulama perempuan dalam membangun perdamaian dan kesejahteraan masyarakat.

Sementara itu Dwi Rubiyanti Kholifah dari Asian Muslim Action Network (AMAN) membahas peran Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang diadakan pertama kalinya di Cirebon, yang dihadiri oleh 500 peserta dari 15 negara.

KUPI melakukan terobosan dalam interpretasi al-Qur`an dan produksi fatwa bagi permasalahan yang menyentuh kehidupan sehari-hari perempuan seperti pernikahan dini, kekerasan seksual dalam rumah tangga, dan kerusakan lingkungan hidup akibat ketimpangan sosial.

Fatwa KUPI dibuat berdasarkan metodelogi yang mencakup al-Qur`an, Hadits, Ijtihad, Konstitusi RI, pengalaman hidup perempuan sehari-hari. Hal tersebut merupakan manifestasi komitmen ulama perempuan Indonesia terhadap keluarga, masyarakat dan negara-bangsa.

Menurut Dwi Rubiyanti Kholifah, langkah progresif KUPI mendapat dukungan dari Pemerintah Indonesia dan ulama lainnya. KUPI selalu berusaha melibatkan berbagai pihak dalam proses pembuatan fatwa, ujarnya.

Bagi banyak pihak di manca negara, terobosan KUPI merupakan prestasi dan membuka kemungkinan bagi tumbuhnya Islam yang progresif dan inklusif di abad 21 serta meningkatkan peran dan potensi kepemimpinan Indonesia di dunia Islam.

Upaya pencegahan ektremisme dan radikalisme yang efektif dimulai dari keluarga dan pemberdayaan ibu, karena ibu adalah kunci serta tulang punggung pendidikan anak. Setelah keluarga, pemberdayaan kelompok masyarakat ditingkat akar rumput sangat penting sebagai benteng pencegahan penyebaran ideologi kekerasan dan ektrimisme.

Islam di Indonesia mempunyai ciri khas tersendiri. Dalam sejarah Indonesia perempuan muslim mempunyai peranan penting baik dalam memimpin perjuangan melawan penjajah maupun memimpin kerajaan Islam di Nusantara.

Sejak Indonesia berdiri, Konstitusi RI tidak pernah membedakan peran dan kedudukan laki-laki dan perempuan sebagai warga negara. Oleh sebab itu, kaum Muslim Indonesia perlu mempertahankan identitas Islam dalam konteks negara-bangsa yang selama ini menjadi ciri khas Islam di Indonesia dengan tidak terpengaruh dengan ide-ide transnasional seperti radikalisme dan ekstrimisme.

Sementara itu Professor Nishi Mitra vom Berg mengatakan berbeda dengan di Indonesia, Islam di India merupakan kelompok minoritas walaupun jumlah muslim kedua terbesar di dunia setelah Indonesia. Dalam beberapa hal, kelompok Islam di India masih terbelakang, miskin, dengan tingkat buta huruf sebanyak 15 persen dan keterwakilan yang sedikit di pemerintahan.

Namun demikian, sedikit demi sedikit Islam di India mulai bergerak maju dengan diterimanya baru-baru ini perjuangan kelompok Islam untuk menghapuskan perceraian instan tiga kali talak, demikian Professor Nishi Mitra vom Berg.

Pewarta: Zeynita Gibbons
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018