Bagaimana dengan tumpukan kaos, gaun dan aksesoris yang nilainya 4,3 miliar dolar AS? Itulah masalah yang dihadapi H&M, ritel fashion asal Swedia, yang menghadapi tumpukan barang belum terjual.
Dilansir NY Times, laporan terbaru dari H&M memunculkan pertanyaan apakah perusahaan itu mampu beradaptasi dalam kompetisi sengit dan perubahan permintaan konsumen yang mempengaruhi pasar busana global.
Tanda-tanda makin banyak inventaris tak terjual mulai terlihat tahun lalu, ketika penjualannya dilaporkan menurun pada kuarter itu. Penurunan itu adalah pertama kalinya dalam dua dekade terakhir, sebuah periode di mana H&M berkembang dari sebuah toko di Stockhol menjadi jaringan raksasa yang memiliki 4.700 toko seluruh dunia.
Penjualan tahun lalu turun karena konsumen lebih senang membeli online ketimbang berdesakan di toko atau mencari busana-busana lebih murah di tempat lain, sebuah tantangan bagi para ritel fashion. Pada Selasa waktu setempat, perusahaan itu mengatakan jumlah stok yang tidak terjual naik 7 persen ketimbang tahun lalu dengan nilai mendekati 35 miliar kronor Swedia.
Skala masalah ini menggambarkan betapa besarnya H&M, salah satu manufaktur baju terbesar dunia, mereka memproduksi ratusan juta barang per tahun. Ada banyak pembangkit listrik di Vasteras, kota di mana H&M pertama berdiri, yang sebagian mengandalkan barang cacat untuk dibakar jadi energi.
Analis telah menekan Karl-Johan Persson, CEO perusahaan itu, tentang masalah ini.
Jumlah inventaris naik, kata dia, karena H&M membuka 220 toko baru dan mengembangkan operasi e-commerce sehingga mereka harus memenuhi stok.
Para kritik menyalahkan manajemen buruk inventaris dan penawaran produk yang mengecewakan, membuat konsumen setia jadi berpaling.
Perusahaan itu mengatakan profit mereka turun 62 persen dalam tiga bulan sampai Februari, membuat sahamnya turun jadi yang terendah sejak 2005 di bursa saham Stockholm.
Ini adalah masalah terbaru dari sederet hal yang menimpa H&M. Perusahaan itu harus menutup toko di Afrika Selatan dan menghadapi kecaman di media sosial setelah memasang iklan model anak kecil memakai baju hangat bertulis “monyet paling keren di hutan.”
Sejak awal 2000an, bisnis berjalan manis bagi ritel fast fashion seperti H&M dan ASOS serta Inditex yang memiliki Zara. Mereka mendapat untung karena bisa menyulap pakaian di peragaan busana jadi baju-baju dan aksesoris terjangkau.
Namun meski brand mewah menikmati untung dalam beberapa bulan terakhir berkat permintaan dari pasar China, perusahaan harus menghadapi perubahan besar.
Di era digital, tantangan menawarkan busana trendi jadi lebih sulit, apalagi banyak orang memilih belanja dari handphone dan lebih peduli kualitas.
Baca juga: Perusahaan ritel daring berpotensi jadi penggerak ekonomi
Penerjemah: Nanien Yuniar
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2018