"Sebenarnya kalau bank-bank bisa memanfaatkan pelonggaran Loan to Value (Nilai Kredit dibanding Aset) tersebut, tentu akan lebih baik dari sisi suplai kredit perbankan," kata Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara usai kesepakatan dengan Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) tentang pertukaran data properti di Jakarta, Senin.
Sejak 2016 hingga awal 2018, bank sentral sudah dua kali menurunkan ketentuan uang muka atau DP perumahan dengan menyesuaikan LTV. Saat ini, BI menetapkan LTV rumah tapak pertama dengan tipe lebih dari 70, sebesar 85 persen, rumah kedua 80 persen, sedangkan yang ketiga dan seterusnya 75 persen. Besaran yang sama berlaku untuk rumah susun.
Berarti ketentuan uang muka untuk LTV rumah tapak pertama dengan tipe lebih dari 70, bisa hanya sebesar 15 persen, rumah kedua 20 persen, sedangkan yang ketiga dan seterusnya sebesar 25 persen.
Namun, Mirza memahami masing-masing bank memiliki kebijakan dalam memberikan plafon kreditnya, termasuk menganalisis kemampuan nasabah membayar kredit.
Hal itu karena bank perlu memitigasi pembengkakan rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) jika tidak ingin labanya terus tergerus.
Mirza mengatakan saat ini perekonomian terus menujukkan pemulihan. Dengan adanya indikator itu, regulator meminta bank tidak perlu ragu atau terus wait and see dalam mengekspansi kredit.
"Kalau BI melihat siklus ekonomi kita pulih dan berlanjut. Kalau kami dorong perbankan agar lebih optimistis dan berani untuk memanfaatkan pelonggaran LTV yang diberikan," ujar Mirza.
Bank Sentral menginginkan pertumbuhan kredit properti dapat turut menaikkan penyaluran kredit secara keseluruhan. Tahun ini, BI menargetkan pertumbuhan kredit perbankan sebesar 10-12 persen (yoy), setelah di 2017 hanya sebesar 8,4 persen (yoy).
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2018