Survei epidemiologi komprehensif tahun 1966-2011 menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang belum mengetahui autis, terutama di negara-negara berkembang. Ironisnya, prevalensi global autis menunjukkan peningkatan.
Studi epidemiologi pada tahun 1960-an dan 1970-an di Eropa dan Amerika Serikat menunjukkan prevalensi autis sekitar 2-4 kasus per 100.000 anak.
Di tahun 2002, prevalensi autis di Amerika Serikat diestimasikan 6-7 per 1.000 anak. Di Kanada, prevalensi autis sebesar 1 persen, mengungkapkan bahwa sekitar 67.000 anak berusia 3-20 tahun positif autis.
Anak pria empat kali lebih rentan menderita autis dibandingkan anak perempuan. Di Indonesia, jumlah penderita autis belum dapat dipastikan.
Karakteristik autis berupa ketidaknormalan dalam interaksi sosial, gangguan komunikasi verbal dan nonverbal, disertai perilaku obsesif dan repetitif. Hipoperfusi otak, disregulasi imun, gangguan genetika diduga sebagai penyebab autis.
Masih banyak lagi hipotesis autis lainnya yang terus diteliti dan dikembangkan para ahli hingga kini.
Penilaian individu dengan autis sebaiknya dilakukan secara komprehensif, meliputi riwayat prenatal, perinatal, medis, keluarga, diikuti pemeriksaan fisik untuk memperoleh data valid tentang parameter pertumbuhan (terutama lingkar kepala) dan ada-tidaknya karakteristik dismorfik.
Deteksi
Deteksi dini autis dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya menggunakan kuesioner CAST (Childhood Autism Spectrum Test).
Cara lainnya dengan AFQ (actions and feelings questionnaire). AFQ merupakan alat uji diri yang menjadi suatu indikator valid untuk status autis pada populasi dewasa.
AFQ menekankan kepada perbedaan individu dalam kognisi motorik (Williams dan Cameron, 2017). Sedangkan instrumen diagnostik autis yang berfokus kepada ekspresi wajah dan gesture adalah ADOS (autism diagnostic observation schedule) dan ADI-R (autism diagnostic interview-revised).
Keterampilan berkomunikasi sosial, termasuk perhatian sosial penderita autis dapat dinilai melalui EGT (eye-gaze tracking).
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat direkomendasikan ahli pediatri, ahli neurologi, ahli psikiatri antara lain: neuroimaging (berupa MRI otak, spektoskopi), pemeriksaan genetika (berupa genome-wide microarray, studi kromosom resolusi-tinggi spesifik atau karyotype, dan analisis DNA untuk Fragile X, perlu dilakukan bila dijumpai disabilitas intelektual).
Selanjutnya uji metabolik (berupa kadar gas darah vena, serum ammonia, laktat, asam urat dan piruvat, asam amino plasma, asilkarnitin total dan bebas, asam organik urin, mukopolisakarida), uji laboratorium (misalnya T4, TSH, hitung darah lengkap, kadar ferritin bila ada keterlambatan perkembangan, profil lemak puasa, glukosa, HbA1c, elektrokardiogram bila sedang terapi neuroleptik), pemeriksaan neurologi berupa EEG (idealnya rekaman saat tidur) diperlukan bila dijumpai kejang atau regresi.
Tatalaksana
Dokter akan memberikan medikasi sesuai indikasi. Golongan antipsikotik atipikal (aripiprazole, olanzapine, risperidone, ziprasidone) diberikan kepada penderita untuk mengatasi agresi, mengamuk/iritabilitas, perilaku repetitif.
Golongan antipsikotik tipikal (chlorpromazine, haloperidol, fluphenazine, thioridazine) digunakan untuk menurunkan perilaku abnormal penderita autis.
Golongan SSRI (selective serotonin reuptake inhibitor) seperti: fluoxetine, fluvoxamine, sertraline, dan clomipramine diresepkan dokter untuk mengatasi cemas dan depresi, menghambat perilaku repetitif, serta meningkatkan perilaku sosial.
Golongan stimulan, alfa agonis, atau atomoxetine diberikan bila dijumpai gejala yang mirip hiperaktif (ADHD).
Autis terkait kejang dapat diterapi dengan pemberian golongan antikonvulsan, seperti: carbamazepine, lamotrigine, topiramate, dan asam valproat. Melatonin diberikan untuk mengatasi insomnia dan gangguan tidur lainnya. Medikasi alternatif berupa asam lemak omega-3, vitamin B kompleks, diet tertentu, memerlukan riset lanjutan.
Terapi di Masa Depan
Para ilmuwan menggunakan tikus coba untuk mengidentifikasi interkoneksi sistem persarafan antara pembelajaran spasial dan sosialisasi, berupaya menemukan solusi autis dan gangguan perilaku sosial lainnya akibat kelainan pada korteks prefrontal di otak dengan pendekatan minimal invasif. Salah satunya melalui optogenetik.
Optogenetik adalah terapi cahaya melalui pendekatan biologi molekuler dan genetika. Optogenetik mampu mengatasi autis melalui rekayasa timbal-balik aktivitas sistem persarafan dengan mempertimbangkan multiperspektif (anatomi, genetika, neurosains). Dengan optogenetik, peneliti dapat menjelaskan mekanisme dasar sistem persarafan dari perilaku sosial, disfungsi kognitif-sosial terkait penyakit.
Pendekatan lain autis adalah melalui sel punca. Sel punca adalah sel induk yang dapat berdiferensiasi menjadi sel-sel lain dan dapat berkembang menjadi sel apapun di tubuh.
Salah satu jenis sel punca adalah sel punca mesenkim. Sel punca mesenkim (SPM) berpotensi sebagai kandidat efektif terapi autis. Kombinasi SPM dan sel-sel CD34+ cord blood berpotensi mengatasi autis.
SPM memiliki karakteristik unik, yakni memiliki kemampuan untuk mensekresi faktor-faktor penghambat imun, seperti: IL-10 dan TGF-beta, juga berkemampuan untuk mengekspresikan antigen terhadap sel-sel T.
Hal ini dipercaya lebih lanjut dapat menghambat imunitas melalui mekanisme perilaku spesifik antigen, serupa dengan penggunaan sel-sel dalam suatu allogeneic fashion tanpa takut penolakan yang diperantarai oleh sistem imun.
Penekanan imun spesifik antigen ini dipercaya mengendalikan sel-sel tersebut untuk "mematikan" berbagai proses otoimun. Efek inhibisi imun SPM berasal dari fakta bahwa selama aktivasi sel T, dua sinyal umum diperlukan sel T dalam respons imun produktif.
Sinyal pertama adalah rekognisi antigen, sinyal kedua adalah rekognisi sinyal-sinyal kostimulatori atau koinhibitori. SPM bersifat imunosupresif (menekan sistem kekebalan tubuh) melalui produksi PGE-2, interleukin-10, dan ekspresi tryptophan catabolizing enzyme indoleamine 2,3,-dioxygenase yang dikenal pula sebagai Galectin-1. SPM juga memiliki kemampuan untuk memodulasi respon imun nonspesifik melalui penekanan maturasi sel dendritik dan kemampuan antigen presenting.
Optogenetik dan sel punca memberikan harapan bagi penderita autis. Tentu perlu ditunjang medikamentosa dan tatalaksana lainnya.
Penanganan yang komprehensif dan berkelanjutan, didukung regulasi pemerintah, sinergi-kolaborasi multidisipliner dan lintas-sektoral, niscaya memberikan rasa optimis bagi penderita autis.
*) Penulis adalah dosen tetap di Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar, dokter literasi digital, penulis 20 buku, dan dokter pemerhati anak berkebutuhan khusus.
Pewarta: dr Dito Anurogo MSc *)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2018