"Sampah itu sebenarnya bukan semata-mata untuk kita memenuhi kebutuhan atau rasio elektrifikasi dari energi baru terbarukan tapi lebih kepada masalah lingkungan hidup," kata Jonan di Jakarta, Selasa.
Jonan menyampaikan hal itu pada Rakornas Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga yang dilaksanakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Dia menekankan bahwa masalah sampah adalah masalah pemerintah daerah sehingga tidak serta merta didorong penyelesaiannya pada pemerintah pusat.
"Kalau mau membangun pembangkit listrik tenaga sampah prosesnya akan lama jika didorong ke pemerintah pusat, tapi saya yakin ada anggaran untuk penanganan sampah, itu bisa diserahkan untuk pembangunan pembangkit listrik," kata dia.
Menurut dia, ada beberapa tantangan dalam pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah antara lain perlunya persamaan persepsi bahwa sampah adalah isu lingkungan bukan isu energi.
"Bagi kami sebagai penanggung jawab di sektor energi, sumber energi primer lebih gampang dari yang lain. Sampah ini sangat sulit karena perdebatannya terlalu panjang. Saya minta pejabat daerah mohon proaktif biaya pengelolaan sampah bisa dialihkan untuk pembangkit listrik," katanya.
Menurut dia, pembangkit listrik tenaga sampah ongkosnya lebih mahal dibandingkan pembangkit dengan sumber energi fosil meski menggunakan teknologi yang sederhana sehingga tarifnya juga lebih mahal.
Dia menjelaskan, rasio elektrifikasi sampai Desember 2017 mencapai 95,35 persen sementara sisanya 4,65 persen atau sekitar 10 juta rumah tangga belum terlayani jaringan listrik.
Lebih lanjut dia mengatakan, dua provinsi yang masih tertinggal rasio elektrifikasinya yaitu NTT 61,02 persen dan Papua 62,10 persen.
"Tahun ini target rasio elektrifikasi bisa mencapai 97,5 persen. Dua provinsi yang masih tertinggal rasio elektrifikasinya itu dikejar mati-matian dengan pembangkit listrik energi baru terbarukan," jelas Jonan.
Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018