• Beranda
  • Berita
  • Tujuh tentara Myanmar dipenjara 10 tahun terkait pembantaian Rohingya

Tujuh tentara Myanmar dipenjara 10 tahun terkait pembantaian Rohingya

11 April 2018 07:14 WIB
Tujuh tentara Myanmar dipenjara 10 tahun terkait pembantaian Rohingya
Seorang tentara berjaga di depan sebuah masjid yang dibakar dalam bentrokan antara Muslim dan Buddha di Lashio, Rabu (29/5). Sekelompok umat Buddha bersenjata tongkat dan pisau membakar rumah-rumah umat Muslim pada Rabu di hari kedua di kota utara Myanmar, Lashio, bertentangan dengan jaminan pemerintah bahwa tentara dan polisi telah memperbaiki perdamaian. (REUTERS/Soe Zeya Tun)
Yangon (ANTARA News) - Tujuh tentara Myanmar dijatuhi "hukuman penjara 10 tahun disertai kerja paksa di sebuah daerah terpencil" karena terlibat dalam pembunuhan massal terhadap 10 pria Muslim Rohingya September tahun lalu, kata militer, Selasa.

Militer mengatakan dalam pernyataan, yang dimuat pada halaman Facebook kantor Panglima Tertinggi Min Aung Hlaing, bahwa tujuh prajurit "telah dikenai tindakan" karena "berperan dan berpartisipasi dalam pembunuhan".

Pembantaian maut itu sedang diselidiki oleh dua wartawan Reuters, Wa Lone (31) dan Kyaw Soe Oo (28). Kedua wartawan itu sendiri ditangkap pada Desember dan masih ditahan dengan menghadapi tuduhan melanggar Undang-undang Kerahasiaan Pejabat Myanmar.

Pihak berwenang mengatakan kepada Reuters pada Februari bahwa militer telah meluncurkan penyidikan internal secara independen dan bahwa penyidikan itu tidak berhubungan dengan para wartawan Reuters, yang dituduh memiliki dokumen-dokumen pemerintah yang rahasia.

Para pria Rohingya yang berasal dari desa Inn Din di negara bagian Rakhine itu dimasukkan ke liang lahat di sebuah kuburan massal pada awal September setelah dibunuh oleh sejumlah tetangga beragama Buddha dan tentara.

Reuters menerbitkan laporan soal pembunuhan tersebut pada Februari.

Pembunuhan itu merupakan bagian dari tindakan keras tentara terhadap kalangan Rohingya. Tentara dihujani tuduhan melakukan pembunuhan, pemerkosaan, pembakaran dan penjarahan sebagai tindakan yang dipicu oleh serangan-serangan militan sekelompok warga Rohingya terhadap pasukan keamanan pada akhir Agustus.

Perserikatan Bangsa-bangsa dan Amerika Serikat menggambarkan kekerasan itu sebagai pembersihan etnis. Myanmar membantah tuduhan tersebut.

Dalam pernyataannya, militer mengatakan bahwa proses hukum terhadap para personel kepolisian dan warga sipil "yang terlibat dalam kejahatan itu" masih berjalan.

Pada 10 Januari, militer mengatakan bahwa kesepuluh pria Rohingya yang tewas itu merupakan bagian dari kelompok garis keras yang beranggotakan 200 orang dan melakukan penyerangan terhadap pasukan keamanan. Warta desa Buddha menyerang para pria Rohingya itu dengan pedang sementara tentara menembak lainnya hingga tewas, kata militer.

Keterangan militer soal kejadian itu berbeda dengan kesaksian yang diberikan kepada Reuters oleh para saksi mata dari kalangan Buddha Rakhine dan Muslim Rohingya, seperti yang diterbitkan dalam laporan pada Februari.

Para warga desa melaporkan tidak ada serangan oleh gerilyawan dalam jumlah besar terhadap pasukan keamanan di Inn Din. Sementara itu, para saksi mata dari Rohingya mengatakan kepada Reuters bahwa tentara menarik kesepuluh pria tersebut dari ratusan pria, perempuan dan anak-anak yang berusaha mencari termpat aman di pantai sekitarnya.

Sejak Agustus, hampir 700.000 warga Rohingya lari dari negara bagian Rakhine untuk menyelamatkan diri. Mereka menyeberang ke Bangladesh selatan hingga menciptakan kamp pengungsian terbesar di dunia.

Baca juga: Kesimpulan PBB: Myanmar tak serius dan tak siap pulangkan Rohingya

Pewarta: SYSTEM
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2018