"Terobosan hukum yang dilakukan hakim tunggal Effendi Mukhtar dalam putusan praperadilan Bank Century patut diapreasiasi, meskipun banyak perbedaan pandangan para pakar hukum dalam memaknai putusan itu," katanya di sela-sela diskusi publik yang digelar Puskapsi di aula Fakultas Hukum Universitas Jember, Jawa Timur, Selasa.
Menurutnya putusan itu memberikan jalan keluar terkait tindakan KPK yang ditengarai melakukan seolah-olah "penghentian penyidikan secara materil" karena membiarkan berlarut-larutnya kasus mega korupsi Bank Century.
"Dalam kasus itu, salah seorang terdakwanya Budi Mulya yang telah divonnis oleh pengadilan sampai pada tahap kasasi dan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) sejak tahun 2015, namun terhadap pihak lainnya yang didakwa secara bersama-sama dengan terdakwa Budi Mulya tidak pernah diproses dan tidak jelas status hukumnya, sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan, serta pelanggaran terhadap asas hukum pidana dan HAM," katanya.
Jika putusan praperadilan Century dibaca dengan cermat dan teliti, lanjut dia, maka putusan tersebut sebenarnya merupakan implementasi dari ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU 48/2009 tentang kekuasaan kehakiman yang menyebutkan hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
"Dalam putusan praperadilan Century, hakim telah membuat terobosan atas belenggu aturan formalistik dimana jika hakim hanya berpegang pada ketentuan perundang-undangan tentang lingkup kewenangan praperadilan, maka akan ada rasa keadilan yang tercederai," tuturnya.
Ia menjelaskan kasus mega korupsi Century adalah kejadian luar biasa yang membawa kerugian besar bagi keuangan negara, sehingga cara penuntasannya tidaklah boleh dengan standar biasa, melainkan perlu teroboson-terobosan yang dapat membawa keadilan bagi semua.
"Untuk itu KPK dalam rangka menjalankan kewajiban untuk patuh pada putusan pengadilan sebaiknya harus segera menindaklanjuti perintah putusan praperadilan, tanpa berusaha menundanya dengan berbagai alasan," ujarnya.
Sementara peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum UGM Hifdzil Alim mengatakan putusan pengadilan harus dihormati dan kasus Century harus dilihat dari sudut pandang penegakan hukum, bukan politik.
"Sepanjang alat bukti yang mengarah ke nama-nama dalam kasus Century telah lengkap, maka KPK harus menjalankan prosedur hukumnya, sehingga KPK tidak perlu berpikir politis karena lembaga antirasuah itu didesain untuk menegakkan hukum, bukan menegakkan politik," katanya.
Menurutnya kasus Century itu menjadi tantangan serius bagi pemerintahan Joko Widodo karena banyak pihak yang menilai bahwa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla terlalu "gagap" di sektor penegakan hukum dibandingkan dengan sektor lain.
"Selain itu, kasus Century menjadi ajang pembuktian bagi KPK bahwa lembaga tersebut hanya menggelandang kasus kecil belaka yang semestinya bisa ditangani oleh kepolisian dan kejaksaan. Padahal KPK didesain sebagai antitesis penegakan hukum antikorupsi dan membongkar kasus besar," ujarnya.
Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Unej menggelar diskusi publik bertema "Putusan Praperadilan Century, Bagaimana KPK Harus Bersikap" dengan menghadirkan sejumlah pakar hukum yakni Nurul Ghufron (pakar hukum pidana/Dekan FH Unej), Tama S Langkun (koordinator divisi hukum dan monitoring Peradilan ICW), Hifdzil Alim (peneliti Pukat UGM), dan Bayu Dwi Anggono (Direktur Puskapsi FH Unej).
Sebelumnya Ketukan palu Hakim Effendi Mukhtar pada akhirnya memerintahkan KPK untuk melakukan proses hukum selanjutnya, sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundangan yang berlaku atas dugaan tindak pidana korupsi Bank Century dalam bentuk melakukan penyidikan dan penetapan tersangka terhadap Boediono, Muliaman D Hadah, Raden Pardede dkk (sebagaimana tertuang dalam surat dakwaan atas nama terdakwa Budi Mulya) atau melimpahkan kepada Kepolisian dan atau Kejaksaan untuk dilanjutkan dengan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam proses persidangan di Pengadilan Tipikor Jakpus.
Pewarta: Zumrotun Solichah
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018