• Beranda
  • Berita
  • Produksi menurun, eksportir kewalahan penuhi permintaan kopi Gayo

Produksi menurun, eksportir kewalahan penuhi permintaan kopi Gayo

18 April 2018 07:21 WIB
Produksi menurun, eksportir kewalahan penuhi permintaan kopi Gayo
Sejumlah pekerja menjemur kopi arabika di Desa Negeri Antara, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Bener Meriah, Aceh, Senin (6/3/2017). Sejak sebulan terakhir harga jual kopi arabika ditingkat petani mengalami penurunan harga dari Rp67.000 per kilogram menjadi Rp58.000 per kilogram disebabkan melimpahnya pasokan. (ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas)
Takengon, Aceh (ANTARA News) - Para eksportir akhir-akhir ini kewalahan memenuhi permintaan kopi Arabika Gayo, Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, karena produksi komoditi unggulan petani kopi tersebut terus menurun dalam beberapa tahun terakhir.

Sekretaris Koperasi Baburrayan, Armiyadi kepada wartawan di Takengon, Rabu menuturkan, Koperasi Baburrayan sendiri sejak tahun 2017 telah mengurangi volume ekspornya akibat ketersediaan kopi semakin berkurang, sedangkan para eksportir baru terus bermunculan.

"Kapasitas ekspor kita di Baburrayan sebenarnya 4 ribu ton pertahun, tapi akhir-akhir ini hanya memenuhi 50 persen saja, yaitu 2 ribu ton," ujarnya.

Kemudian di tahun 2017 sudah menurun lagi jadi hanya 1.000 ton, karena produksi kopi memang menurun, harga tinggi, persaingan tinggi, dan banyaknya muncul eksportir baru yang membuka gudang di Aceh Tengah dan Bener Meriah sehingga berebut barang, tutur Armiyadi.

Menurut dia persaingan untuk mendapatkan kopi Gayo saat ini semakin ketat di kalangan eksportir demi memenuhi kebutuhan ekspor, akibatnya semakin banyak yang kini membuka gudang demi mendapatkan pasokan langsung dari petani.

"Jadi pengusaha-pengusaha tersebut harus jemput kopi, harus buka gudang di sini, contohnya Olam Kopi, Volkopi, dan yang paling baru itu Louis Dreyfus. Itu pembeli-pembeli besar yang tidak dapat kopi lagi di Medan, Sumatera Utara, karena sudah langsung disortir di sini, akhirnya mereka pun buka cabang di sini, sehingga terjadi persaingan," jelasnya.

Dalam kondisi persaingan ini justru produksi kopi semakin sedikit, sehingga harga meningkat, itu kan supply demand, jadi jumlah yang dibutuhkan itu banyak sementara barang yang tersedia itu sedikit, harga akan semakin tinggi, jelas Armiyadi.
 
Seorang petani memanen biji kopi Gayo kualitas unggulan di Desa Beutong Ateuh Bangalang, Beutong, Nagan Raya, Aceh, Minggu (2/7/2017). Permintaan kopi gayo untuk pasar lokal dan nasional terus mengalami peningkatan dengan harga ditingkat penampung berkisar Rp 75.000 sampai Rp. 150.000 per kilogram. (ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas)


Dia menjelaskan bahwa selama ini Koperasi Baburrayan sendiri mendapatkan pasokan kopi langsung dari para petani di bawah binaan koperasi tersebut, sehingga persaingan untuk mendapatkan kopi tidak terlalu terasa, selain produksi kopi para petani saat ini memang sedang menurun.

Menurut Armiyadi, pihaknya tidak mengambil kopi dari petani lain di luar anggota binaan, karena adanya standar khusus yang diberlakukan terkait kopi organik yang selama ini diterapkan kepada petani binaan mereka dengan keanggotaan 5 ribu petani binaan.

"Jadi petani binaan kita itu ada dalam 105 kelompok, 70 kelompok di antaranya berada di Aceh Tengah sisanya di Bener Meriah, dari situlah kopi kita diserap," ujar dia.

Baburrayan tidak boleh mengambil dari petani lain karena anggota Baburrayan itu tersertifikasi, jadi produk yang diambil itu adalah yang tersertifikasi, jelas dia lagi.

Baca juga: Kopi gayo memang istimewa, ini pengakuan buyer asing

Pewarta: Mukhlis
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2018