Namun toh, Natal nyatanya tidak kunjung menghadirkan kabar baik bagi pria dari keuskupan Agats-Asmat terlebih saat ia serasa dipaksa menyaksikan langsung anak-anak Asmat meregang nyawa akibat ketiadaan gizi yang layak.
Sudah lama sesungguhnya ia tidak menangis, dan di depan anak-anak di kampung As (dan) Atat, air matanya seperti enggan dibendung
menyaksikan begitu banyaknya manusia-manusia kecil yang kurang gizi dan di luar imajinasi kurus yang biasa terlihat.
Pesta Natal serasa hambar namun ibadahnya menjadi demikian khidmat lantaran permintaan khususnya kepada Yang Maha Kuasa agar malaikat diturunkan untuk mengakhiri persoalan.
Entah lantaran doanya atau bukan, kabar kepedihan di Asmat itu sampai ke ibukota dalam waktu yang amat sangat cepat bahkan jauh di luar perkiraan sang Uskup.
Tak perlu waktu lama memang untuk kemudian Presiden Joko Widodo terpanggil menginjakkan kembali kakinya untuk kesekian kalinya di Papua.
Dari yang santer terdengar Jokowi kecewa dengan penanganan gizi buruk dan stunting yang sudah dilakukan sejauh ini.
Penanganan dianggap setengah hati dan sporadis bahkan di sana-sini lebih sering tak melibatkan pihak yang justru amat dibutuhkan partisipasinya.
Industri misalnya yang sejujurnya dituntut untuk terjun ke dalam persoalan pelik itu, sebab gizi buruk bukanlah perkara peluang bisnis namun lebih jauh disadari bahwa ini adalah ancaman bagi daya saing bangsa ke depan.
Faktanya memang gizi buruk yang telah menimbulkan balita stunting hingga mencapai 30 persen dari seluruh balita di Tanah Air atau sekitar 9 juta jumlahnya tidak sekadar rampung dengan sepotong biskuit.
Kejadian stunting memang dicegah bukannya menunggu kejadian baru diatasi dan untuk mencegahnya diperluan pantauan tinggi dan berat badan sebagaimana tercantum dalam Kartu Menuju Sehat.
Blusukan Jokowi
Sepintas cara blusukan Jokowi ke kampung-kampung membagikan biskuit kepada balita dan ibu hamil tampak sepele. Namun bagi yang sadar ada begitu banyak pesan terkandung dalam upayanya.
Ia ingin ada tindakan untuk mengakhiri penanganan gizi buruk yang setengah hati. Tetapi disadari pemberian makanan tambahan hanyalah langkah antisipasi.
Sebab menurut dokter anak yang juga Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) TB Rachmat Sentika stunting terjadi lantaran adanya ketidakcukupan gizi dan dan faktor lainnya selama dalam periode pertumbuhan 1000 hari kehidupan.
Ia mengatakan sekitar 80 persen stunting disebabkan karena faktor intervensi eksternal dan hanya 20 persen sisanya akibat keturunan atau penyakit. Bahkan lebih dari itu hingga 90 persen stunting menurut Mantan Deputi Kesejahteraan dan Perlindungan Anak Kemenkop PMK itu disebabkan oleh faktor-faktor yang sebenarnya dapat dikoreksi sejak awal kehidupan seorang anak.
Menurut dia, tidak semua stunting disebabkan karena kemiskinan atau ketidakmampuan untuk memberikan asupan namun lebih sering lantaran ketidakpahaman orang tua untuk memberikan jenis asupan yang sesuai dengan pola tumbuh kembang anak.
Rachmat Sentika mengusulkan penanganan dengan intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif.
Sejatinya, ia berpendapat, penanganan gizi buruk dan stunting sesederhana kepedulian semua pihak untuk terlibat misalnya menyadarkan kembali pentingnya mengacu pada buku pedoman yang ada di dalam buku KIA atau KMS yang di dalamnya terdapat kurva pertumbuhan anak.
Jika ditemui dan dipantau pertumbuhan anak melambat di bawah perkiraan angka idealnya atau "faltering growth" maka sudah saatnya menghubungi tenaga medis untuk mendapatkan penanganan karena harus ada intervensi makanan industri berbasis "food science" yang mudah diserap karena sudah dipecah dan dipermudah untuk proses penyerapan.
Rachmat melihat upaya penanganan gizi buruk di Indonesia sejatinya telah memiliki pedoman baku yang ideal yang dibukukan dalam buku jingga dan mudah didapatkan di pusat-pusat layanan kesehatan.
Sayangnya, optimalisasi dalam implementasinya masih menjadi pekerjaan rumah tersendiri termasuk dalam hal memelopori keterlibatan akademisi, bisnis, industri, pemerintah, dan media sekaligus menyamakan persepsi dalam mengatasi persoalan itu.
Terlebih stunting itu harus dipahami dengan serius untuk diatasi bukan sekadar dengan memberikan biskuit melainkan intervensi pemulihan bukan lagi penyuluhan.
Untuk mencegah gizi buruk memang diperlukan kemauan dan upaya bersama yang dilandasi dengan peraturan dan ilmu pediatri.
Solusi Formula
Presiden Jokowi telah menginstruksikan kepada jajarannya untuk menangani persoalan stunting sesegera mungkin. Stunting memerlukan penanganan dengan memberikan makanan yang mudah diserap dan dicerna.
Perlu asupan makanan dengan rantai pendek, bukan lagi karbohidrat tapi sebaiknya glukosa, bukan lagi protein tapi harus berbentuk asam amino, bukan lagi asam lemak tapi harus berbentuk asam lemak, lengkap dengan mikro dan makro nutrien yang sudah terpecah-pecah.
Penderita stunting memerlukan asupan yang tidak memerlukan pencernaan dari enzim sehingga dapat pulih dalam waktu seketika.
Rachmat Sentika mencatat perlunya pemberian diet dan ketersediaan formula 75 dan formula 100 termasuk edukasi cara membuatnya, hingga kemudahan mendapatkannya di pasaran.
Solusi formula tersebut diharapkan tidak menimbulkan kontroversi dan serangan tidak perlu kepada industri yang memproduksi formula itu sebab langkah tersebut bukan untuk menggantikan peran ASI atau kebutuhan gizi balita yang alami.
Rachmat menyambut baik keputusan Kepala BPOM Nomor 1/2018 tentang olahan pangan untuk gizi khusus yang memungkinkan intervensi racikan khusus untuk gizi buruk.
Menurut dia, keputusan tersebut merupakan terobosan besar yang memungkinkan solusi tercepat dalam hal pengatasan gizi buruk di Tanah Air.
Industri pun harus diundang untuk terlibat memproduksi solusi untuk gizi buruk agar bisa meng-catch up dengan segera persoalan stunting di Indonesia.
Sekali lagi ditekankan perlunya sinergi dan ada kepimpinan dalam upaya menanggulangi gizi buruk.
Presiden Jokowi sendiri menekankan bahwa Nawacita harus dipahami dalam satu napas dan tidak dipotong-potong butir perbutir termasuk dalam butir pertama untuk melindungi rakyat. Inilah upaya Pemerintah untuk melindungi rakyat dari ancaman gizi buruk terhadap generasi emas Indonesia.
Maka ke depan memang diperlukan kepemimpinan yang visioner, cinta anak, dan kekuatan untuk menggandeng seluruh pihak terkait dalam hal penanganan gizi buruk yang masih saja terasa setengah hati.
Pewarta: Hanni Sofia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018