"10 Tahun lalu, memang masyarakat belum mengerti konservasi, tapi itu 10 tahun lalu. Selama ini Pulau Komodo terjaga dengan baik. Seiring perkembangan pariwisata yang pesat di Pulau Komodo, instrumen regulasi sedang dibenahi dan kami sedang menyusun carrying capacity. Bahkan ke depannya nanti, sistem online juga akan kami terapkan," kata Budhy dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Selasa.
Soal isu illegal fishing yang menyebabkan kerusakan di bawah laut Taman Nasional Komodo (TNK) di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Budhy mengaku sudah membaca tulisan The Guardian mengangkat judul 'Destroying the World's Natural Heritage: 'Komodo is Reaching a Tipping Point'.
Kabar itu diviralkan salah satu operator selam, Ed Statham. Sebuah media Inggris The Guardian, juga sempat memberitakan. Namun, tidak dijelaskan di spot mana lokasi tersebut terjadi.
"Saya sudah baca tulisannya. Sayangnya, tidak ditulis di mana lokasi bawah laut yang rusak. Tentu kalau ada informasi lokasinya, bisa kita cek dan sebagainya," tegasnya.
Sementara Person In Charges (PIC) Pokja 10 Destinasi Prioritas Kementerian Pariwisata Labuan Bajo, Shana Fatina, menyatakan apa yang dilaporkan Ed Statham hingga viral dan diberitakan media Inggris, perlu didetailkan kembali.
"Terkait ilegal fisihing di Taman Nasional Komodo, sudah ada pembagian zonasi. Ed juga tidak menjelaskan lokasi illegal fishingnya di mana,” katanya.
Menurutnya ada banyak tipe zonasi di Taman Nasional Komodo. Mulai dari Zona Inti, Zona Rimba, Zona Perlindungan Bahari, Zona Pemanfaatan Wisatawan Daratan, Zona Pemanfaatan Wisata Bahari, Zona Khusus Permukiman, serta Zona Khusus Pelagis.
“Pembagian zona itu sudah sangat jelas. Semuanya sudah diatur. Dimana nelayan boleh atau tidaknya melakukan aktivitas memancing di kawasan Taman Nasional Komodo. Pada Zona Inti contohnya, dalam penjelasannya tertulis, zona ini memiliki luas 34.311 hektare dan merupakan zona yang mutlak dilindungi. Di dalamnya tidak diperbolehkan ada perubahan apapun oleh aktivitas manusia, kecuali yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, pendidikan dan penelitian,” paparnya.
Lalu terdapat Zona Perlindungan Bahari. Zona ini memiliki luas 36.308 hektare. Zona ini merupakan daerah dari garis pantai sampai 500 meter ke arah luar. Dari garis isodepth 20 meter di sekeliling batas karang dan pulau, kecuali pada zona pemanfaatan tradisional bahari. Di zona ini tidak boleh ada kegiatan pengambilan hasil laut, seperti halnya pada zona inti. Kecuali, kegiatan wisata alam terbatas.
“Namun, nelayan masih bisa memancing secara legal. Yaitu di Zona Pemanfaatan Tradisional Bahari. Zona ini memiliki luas 17.308 hektare. Dalam Zona Pemanfaatan, masyarakat bisa melakukan kegiatan untuk mengakomodasi kebutuhan dasar penduduk asli. Tapi, sesuai izin hak khusus pemanfaatan oleh Kepala Balai Taman Nasional Komodo. Pada zona ini dapat dilakukan pengambilan hasil laut dengan alat yang ramah lingkungan (pancing, bagan, huhate, dan paying),” paparnya.
Dijelaskan Shana, untuk pengamanan dan pengawasan kawasan, telah ada Tim Terpadu. Yaitu terdiri dari Taman Nasional Komodo, Polres Manggarai Barat, Polairud, TNI AL, Kodim dan Syahbandar. Tim terpadu akan melakukan pengawasan secara rutin dengan pola pre-emtif, persuasif maupun refresif. Juga mensinergikan sumberdaya yang ada pada masing-masing pihak.
“Mereka sigap, setiap ada illegal fishing pasti langsung ditindak. Contohnya belum lama ini Pada 12-20 April 2018, tim patroli apung terpadu yang melibatkan Balai TNK, Polair, Gakkum Wilayah III, menangkap sejumlah nelayan yang memancing ikan di area menyelam di kawasan wisata Komodo. Balai TNK juga sudah merilis nomor hotline untuk dikontak setiap saat apabila ditemukan tindakan yang diduga melanggar,” ujar Shana.
Shana juga menceritakan, pada 11 April 2018 lalu, telah berlangsung rapat sosialisasi zonasi TN Komodo sebagai tindak lanjut kejadian tour guide yang mengganggu Komodo. Pertemuan tersebut juga dihadiri oleh Kepala Balai TN Komodo, Kapolres Manggarai Barat, Kepala Dinas Manggarai Barat, PIC Labuan Bajo, ASITA Manggarai, Asosiasi Kapal Angkutan Wisata (ASKAWI), Dive Operator Community Komodo (DOCK), HPI, Perkumpulan Penyelam Profesional Komodo (P3K), Syahbandar Pelabuhan Labuan Bajo, WWF Indonesia, serta Generasi Pesona Indonesia (GenPI) Nusa Tenggara Timur.
"Ada tujuh poin penting yang dihasilkan dalam forum saat itu. Dimana intinya untuk menjaga dan melesatarikan TN Komodo. Serta menjaga ekosistem, baik yang didarat maupun yang di laut," ujarnya.
Dijelaskan Shana, ada salah satu poin yang dianggap akan melestarikan ekosistem di Taman Nasional. Yaitu, Kepala Balai Taman Nasional Komodo menyatakan menghentikan aktivitas Feeding (pemberian makan ke Komodo). Bahkan untuk tamu VVIP. Hal itu untuk menjamin tidak adanya perubahan perilaku Komodo sebagai satwa liar.
"Untuk menjaga ekosistem, baik di darat maupun di laut, perlu solusi. Solusi pertama udah akan dipasang 41 mooring di TNK pada tahun 2018. Lalu solusi kedua, sedang dihitung untuk maksimal jumlah penyelaman atau snorkeling bersamaan di titik-titik selam TNK. Baru disusun percontohan di 11 titik, dan diperkirakan tahun ini dapat diselesaikan untuk sisanya. Yang ketiga setelah jelas batas maksimal kunjungan, baru bisa diterapkan konsep buka tutup yang kemungkinan uji coba pada tahun 2019," tutur Shana.
"Intinya, kami semua sedang mengerjakan penyusunan studi carrying capacity yang tidak hanya mengatur mengenai pariwisata namun juga pertumbuhan populasi dalam TNK agar tetap bisa menjaga kelestarian ekosistemnya," tegasnya.
Pewarta: Tasrief Tarmizi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018