Terbayang, tanah yang luasnya sejak zaman kemerdekaan sampai reformasi cuma "segitu-gitu saja" harus bisa menampung dan menjadi ruang hidup populasi penduduk Indonesia yang semakin membengkak jumlahnya.
Cilakanya jika tanah yang cuma "segitu-gitu saja" tadi ternyata mayoritas hanya dikuasai oleh pemilik modal yang jumlahnya bisa dihitung jari.
Lantas, mau ke mana mereka, termasuk anak-cucu, yang tidak memiliki cukup modal untuk mengakses lahan, yang sekarang hidup di wilayah pesisir hingga pelosok hutan Indonesia?
Namun ternyata persoalan lahan ini bukan terbatas hanya persoalan keterbatasan modal saja, sehingga membuat seseorang tidak bisa memiliki aset secara legal. Karena banyak pula Warga Negara Indonesia yang tidak memiliki akses legal terhadap tanahnya, meski sudah hidup beberapa generasi di atasnya.
Salah satu contoh para transmigran di Sumatera, Kalimantan, atau pulau lainnya di Indonesia yang bahkan sudah dua generasi hidup di luar daerah asalnya belum juga memiliki legalitas atas tanah transmigrasi yang sudah diberikan dan digarapnya bertahun-tahun.
Sudah menjadi rahasia umum dari sejak dulu jika birokrasi untuk mendapatkan akses legal atas tanah butuh kesabaran tingkat dewa. Rumit dan mahalnya untuk mendapatkan legalitas berupa sertifikat atas tanah yang memang merupakan hak milik seseorang juga menjadi persoalan.
Yang lebih gawat lagi dari persoalan-persoalan di atas memunculkan persoalan lebih besar di masyarakat, yakni sengketa lahan yang sering berakhir dengan konflik berkepanjangan.
Sengketa lahan ini terjadi antara masyarakat adat dengan pemerintah, masyarakat adat dengan perusahaan, antara masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan perusahaan, kata Presiden Joko Widodo saat membuka Konferensi Tenurial Reformasi Penguasaan Tanah dan Pengelolaan Hutan Indonesia 2017 di Istana Negara.
Atas alasan itu pula Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS) ada, sebagai upaya memecahkan persoalan tersebut, selain sebagai usaha pemerataan ekonomi masyarakat.
Semangat reforma agraria dan perhutanan sosial adalah bagaimana lahan, bagaimana hutan yang merupakan bagian dari sumber daya alam Indonesia dapat diakses oleh rakyat, dapat diakses oleh masyarakat dan dapat menghadirkan keadilan ekonomi dan menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat, lanjut Presiden.
Sertifikat Reforma Agraria
Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (APN/BPN) Sofyan Djalil mendapat mandat untuk menerbitkan lima juta sertifikat di 2017, tujuh juta sertifikat di 2018, sembilan juta sertifikat di 2019. Ini menjadi kerja besar karena di tahun-tahun sebelumnya BPN rata-rata hanya mampu menerbitkan sertifikat sekitar 400 ribu sampai dengan 500 ribu saja per tahun.
Guna mencapai target legalisasi aset melalui Proyek Operasi Nasional Agraria (Prona) di mana seluruh tanah sudah bersertifikat di 2025, Kementerian ATR/BPN menjalankan program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) untuk menyisir seluruh wilayah terdata melalui mekanisme sertifikasi secara keseluruhan.
Yang dilakukan adalah menggunakan sistem jemput bola di mana tim satgas BPN di setiap Kelurahan menyisir lahan-lahan masyarakat yang belum bersertifikat. Pembiayaan administrasi mulai dari biaya ukur, biaya panitia pemeriksa tanah hingga biaya administrasi pendaftaran menggunakan dana APBN, APBD bahkan diupayakan menggunakan APBDes.
Mekanisme program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR), menurut Menteri ATR/BPN, juga ada yang menggunakannya, seperti yang diterapkan di Kota Surabaya. Atau, seperti di Boyolali, Jawa Tengah, di mana 40 persen sertifikat diagunkan ke bank sebagai modal untuk mendapatkan legalitas lahan milik masyarakat sendiri.
Penyederhanaan proses sertifikasi lahan yang sebelumnya membutuhkan waktu hingga 120 hari kini ditekan menjadi 45 hari, setelah seluruh dokumen yang dibutuhkan sudah lengkap diterima oleh BPN menjadi sebuah perubahan kinerja. Dari sini sesungguhnya masyarakat memiliki kesempatan untuk mengukur apakah reformasi birokrasi yang didengungkan pemerintah selama ini berhasil atau tidak.
Selain mempermudah legalitas aset masyarakat, Reforma Agraria yang sedang dilakukan pemerintah adalah meredistribusi lahan dalam bentuk Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA). Sekitar 4,9 juta hektare (ha) tanah negara perlu dilakukan pendataan dan penataan ulang, termasuk di dalamnya tanah Hak Guna Usaha (HGU) yang tidak diperpanjang serta tanah-tanah terlantar.
Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengingatkan meski legalitas yang diberikan melalui TORA merupakan hak milik atas tanah, namun sertifikat yang diberikan memang sengaja dibuat untuk tidak bisa dijual atau dipecah melalui sistem waris. Ini karena model legalitas aset yang diberikan untuk kelompok, bukan untuk perorangan.
Tidak hanya melakukan redistribusi lahan, menurut dia, melengkapi sertifikat yang diberikan perkelompok tersebut akan dibuat klaster-klaster lahan yang dikembangkan secara lebih sistematik untuk sektor pangan. Peningkatan kemampuan kelompok masyarakat untuk peningkatan produktivitas lahan melalui tanaman pangan dan agroindustri akan dilakukan.
Subjek reforma agraria, lanjutnya, juga diberdayakan melalui pemberian akses terhadap infrastruktur jalan dan irigasi, termasuk prasarana pascapanen, pendidikan dan pelatihan, kredit usaha, serta pemasaran.
"Kita tahu di bidang pangan itu `loses dan waste? cukup tinggi. Padi dari panen sampai ke beras `loses? bisa mencapai 15 persen sampai dengan 20 persen, sedangkan sayur akan jauh lebih besar lagi," katanya.
Darmin mengatakan bahwa penyediaan platform informasi pasar dari produk pertanian serta bantuan bagi pengembangan usaha produksi pertanian juga menjadi pemberdayaan secara sistematik klaster yang diperoleh subjek reforma agraria.
Sedangkan pendanaannya, menurut dia, akan diambil dari APBN dan sebagian dari kredit, seperti kredit usaha rakyat (KUR) dengan bunga 9 persen. Atau dari pihak swasta yang akan didorong untuk menjadi "off taker" karena tidak bisa hanya Pemerintah saja yang membeli hasil usaha.
Izin Perhutanan Sosial
Perhutanan Sosial sesungguhnya bukan program baru karena pada pemerintahan sebelumnya program ini juga sudah ada. Namun, menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, kali ini bukan sekadar soal pemberian aset legal tapi juga pemberian akses guna peningkatan kesejahteraan.
Hal yang genuine di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, terkait perhutanan sosial ini adalah adanya akses dukungan yang lain yang diberikan pada kelompok-kelompok penerima ijin kelola, seperti permodalan, skill, peningkatan kapasitas, bahkan akses pasar.
Untuk memastikan aset dan akses memberikan perubahan bagi masyarakat, ia mengatakan KLHK telah membuat Dashboard Sistem Navigasi Perhutanan Sosial. Selain memantau jumlah pemberian akses kelola perhutanan sosial juga dipantau penanganan konflik hingga peningkatan kapasitas usaha perhutanan sosial.
Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Supriyanto mengatakan dengan adanya legalitas ijin pengelolaan area hutan selama 35 tahun bagi kelompok-kelompok masyarakat ini maka akses permodalan akan lebih mudah, baik melalui perbankan, tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR), Kredit Usaha Rakyat (KUR) hingga Dana Desa.
KLHK, menurut dia, juga sudah melakukan sejumlah MoU dengan perbankan nasional seperti Bank Mandiri, BNI dan BRI untuk mendukung pelaksanaan Perhutanan Sosial ini. Sejauh ini memang baru terlaksana di Jawa dan segera meluas ke pulau-pulau lain.
Baca juga: ARTIKEL - Reforma agraria Jokowi dalam euforia dan enigma
Ia juga mengatakan agar Perhutanan Sosial benar-benar berjalan memberikan kebaikan bagi masyarakat maka satu SK Menteri LHK yang dikeluarkan untuk ijin maupun hak pengelolaan akan ada satu pendamping.
Pemerintah Provinsi harus bekerja sama dengan membantu menyediakan pendamping yang tersertifikasi atau yang sudah melalui pelatihan tutorial beberapa hari dan mendapat tujuh panduan untuk masing-masing skema Perhutanan Sosial. Dan kekurangan personel pendamping akan diambil dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), akademisi, peneliti, bahkan pihak donor.
Berdasarkan data KLHK, total pencapaian kinerja pemberian akses kelola kawasan hutan melalui skema Perhutanan Sosial hingga Maret 2018 mencapai 1.500.699,53 ha.
Luasan tersebut menjangkau sekitar 313.270 Kepala Keluarga (KK) melalui pemberian 4.302 ijin atau hak berupa SK Menteri LHK untuk Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Rakyat (HR), Hutan Adat (HA) dan Kemiteraan Kehutanan.
Hingga saat ini, KLHK masih mencoba melakukan penajaman-penajaman rancangan kebijakannya guna mempercepat pemberian ijin kelola Perhutanan Sosial.
(T.V002/T007)
Pewarta: Virna Puspa S
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018