Wisata kala usia senja dan bergowes di Ternate

3 Mei 2018 21:39 WIB
Wisata kala usia senja dan bergowes di Ternate
Arsip - Suasana kota Ternate dan Stadion Gelora Kie Raha di kaki Gunung Gamalama di Maluku Utara. (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)
Lebih dari 50 alumnus SMA Negeri 2 Jakarta angkatan 1980, sebagian di antaranya mengajak anak dan istri atau suaminya, menikmati wisata beberapa hari di Ternate dan Tidore, Provinsi Maluku Utara, baru-baru ini.

Inilah kunjungan mereka ke daerah tujuan wisata di dalam negeri yang terjauh. Sejauh ini, kebanyakan di antara mereka telah mengunjungi tempat-tempat wisata di Pulau Jawa, Sumatera, atau Bali.

Rencana mereka untuk berwisata ke Maluku Utara telah dirancang beberapa bulan lalu dan terwujud sudah. Mereka menikmati pemandangan indah, makanan lezat khas provinsi ini, dan keramahtamahan warga di Ternate dan Tidore khususnya.

Kegembiraan mereka telah nampak sejak berangkat dari Bandar Udara Soekarno-Hatta hingga mendarat di Bandara Sultan Babullah di Ternate, lalu ke penginapan atau hotel.

Setelah menikmati malam pertama yang diisi dengan acara silaturahim dan taklim, para alumnus yang rata-rata usianya sudah di atas 50 tahun itu, mengisi perut dengan berbagai makanan yang disajikan tuan rumah Endang Sunaryo, seorang pejabat di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Setelah beristirahat, mereka berangkat dengan menggunakan bus dan kapal feri ke Pulau Tidore yang dapat ditempuh sekitar 45 menit.

Di atas kapal, mereka dan bersama penumpang lain menikmati perjalanan dengan laut yang tenang. Di antara para penumpang menikmati makanan yang dijual di atas kapal.

Para alumnus SMA itu yang di antaranya sudah pensiun dari tempat kerja mereka, menikmati perjalanan dengan jalan-jalan yang mulus dan relatif sepi.

Mereka menyaksikan deretan rumah-rumah warga yang modern, kontras jika dibandingkan dengan rumah-rumah di tepi pantai di Pulau Jawa.

Tujuan wisatawan dari Jakarta ini ialah mengunjungi Benteng Tahula yang terletak di atas bukit yang curam di daerah pesisir Desa Soa Sio.

Untuk mencapainya, pengunjung perlu memiliki kekuatan fisik karena harus menaiki puluhan anak tangga. Di antara mereka, mengurungkan niatnya menapaki anak tangga-anak tangga hingga benteng tersebut. Mereka yang turun dari bukit tampak kelelahan.

Dari benteng yang baru mulai dibangun pada 1610 oleh Cristobal de Azcqueta Menchacha, Gubernur Spanyol, mereka menuju makam Sultan Muhamad Amiruddin alias Nuku. Ia adalah putera Sultan Jamaluddin (1757-1779) dari Kerajaan Tidore.

Pada zaman pemerintahan Nuku (1787-1805), Kesultanan Tidore memiliki wilayah yang luas, meliputi Pulau Tidore, Halmahera Tengah, pantai barat dan bagian utara Irian Barat dan Seram Timur.

Sejarah mencatat bahwa hampir 25 tahun, Nuku bergumul dengan peperangan untuk mempertahankan tanah airnya.

VOC yang berpusat di Batavia dengan gubernur-gubernurnya yang ada di Kota Ambon, Kepulauan Banda, dan Pulau Ternate berhadapan dengan perlawanan dari Pangeran Nuku.

VOC menghadapi konfrontasi Nuku dan Kerajaan Tidore dalam usahanya menguasai Maluku. Bertempur melawan Belanda di darat dan di laut, Nuku Sulit ditaklukkan.

Atas jasanya-jasanya kepada negara, Nuku Muhammad Amiruddin Kaicil Paparangan dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No.71/TK/Tahun 1995 pada 7 Agustus 1995. Makam Sultan Nuku merupakan cagar budaya dan dilindungi oleh Undang-Undang RI.

Menjelang sore, mereka meninggalkan Pulau Tidore di bawah guyuran hujan hingga pelabuhan feri.

"Pulau Tidore bersih, memiliki banyak masjid," kata Tetty Erwiyah, salah seorang wisatawan.

Dalam perjalanan kembali ke Pulau Ternate, sebagian wisatawan asal Jakarta itu mabuk laut karena feri yang mereka tumpangi oleng diterpa ombak yang cukup besar dan hujan deras.

Mengakhiri wisata di Ternate, mereka mengunjungi Benteng Tolucco, salah satu peninggalan Portugis di Ternate. Dari atas benteng ini, wisatawan dapat melihat pemandangan laut yang indah dengan latar belakang Pulau Halmahera, Tidore, dan Meitara.

Setengah jam dari benteng itu, wisatawan melanjutkan perjalanan ke sebuah kawasan tempat terdapat bongkahan bebatuan yang bentuk dan warnanya kontras dengan bebatuan di sekitarnya. Warga setempat menyebut objek wisata Batu Angus.

Syahdan, bentuk batu-batu tersebut merupakan bekas dari aliran lava yang membeku saat terjadi letusan Gunung Gamalama pada 1907.

Oleh karena keterbatasan waktu, mereka tak dapat melihat Danau Tolire dengan airnya yang hijau dan beberapa objek wisata lainnya yang menarik.

"Objek wisata Batu Angus memiliki daya tarik untuk wisatawan, termasuk untuk pemotretan sebelum pernikahan," kata Made Nariyani, yang ikut dalam rombongan tersebut dan kini berdomisili di Denpasar.

Dia menyayangkan penataan tempat wisata yang belum optimal padahal potensi untuk menarik wisatawan besar.

Sebelum berwisata di Ternate berakhir, tak lupa mereka membeli oleh-oleh khas Maluku Utara.

Bersepeda
Asep Kurnia, seorang pejabat di Kementerian Hukum dan HAM, yang turut serta dalam rombongan Ron Ternate bersama Gamalama Bicycle Club (GMC) pernah menyusuri jalan-jalan di Kota Ternate dengan bersepeda.

Rombongan yang beranggota 20 orang ini menaklukkan jarak sekitar 45 kilometer mengelilingi pulau dengan waktu tempuh tiga jam 39 menit.

Perjalanan dengan sepeda sangat menyenangkan. Selain jalannya yang mulus dan jarang mobil, jalur mengelilingi kaki Gunung Gamalama ini lumayan variatif karena ada jalan menanjak dan menurun.

"Sehingga menguras adrenalin untuk menaklukkannya," kata Asep, Presiden Imigrasi Gowes, kepada Antara, mengenang kegiatan tersebut.

Di sepanjang perjalanan, Asep dan rombongannya menikmati keindahan Pantai Ternate dan menghirup udara segar di sekitar Danau Tolire yang memesona.

Dia juga mengaku ingin bersepeda di Pulau Tidore karena mendengar lintasan jalan di pulau itu lebih menantang lagi.

"Sayang sekali saya belum punya kesempatan untuk menaklukkannya," ujar Asep.

Saat akhir bersepeda, rombongan menikmati makanan khas Ternate, seperti Pepeda dengan berbagai umbi-umbian serta sayur lilin yang mereka tak dapat jumpai di daerah lain.

 

Pewarta: Mohamad Anthoni
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2018