Kerajaan sekutu AS itu mengatakan akan bekerja sama dengan Amerika Serikat dan masyarakat internasional untuk menangani masalah program nuklir Iran, juga program peluru kendali balistik dan dukungan negara itu pada kelompok keras di kawasannya.
"Iran menggunakan keuntungan ekonomi hasil pencabutan sanksi untuk melanjutkan kegiatannya mengganggu ketenangan di kawasan ini, terutama dengan mengembangkan peluru kendali balistik serta mendukung kelompok teroris," kata pernyataan Kementerian Luar Negeri Saudi, seperti dikutip Reuters.
Arab Saudi menegaskan "kepentingan untuk menghadapi bahaya akibat kebijakan Iran terhadap perdamaian dan keamanan internasional melalui pandangan menyeluruh, yang tidak terbatas pada program nuklirnya, tapi juga termasuk kegiatan penuh permusuhan" di kawasan itu.
Kesepakatan yang dicapai pada 2015 tersebut merupakan pencapaian kebijakan luar negeri pendahulu Trump, Barack Obama.
Menurut kesepakatan tersebut, Iran mendapatkan peringanan sanksi sebagai imbalan atas pengekangan program nuklirnya guna mencegah negara itu memiliki kemampuan membuat bom atom.
Trump telah beberapa kali mengkritik perjanjian Iran, yang dianggapnya tidak mengatasi program rudal balistik Iran dan peranan negara itu dalam konflik-konflik di Yaman dan Suriah. Perjanjian itu juga dikritik karena tidak membahas kegiatan nuklir Iran setelah 2025 serta terkait syarat-syarat yang harus dipenuhi para pemeriksa internasional untuk dapat mendatangi dugaan lokasi-lokasi nuklir Iran.
Arab Saudi menyebut kesepakatan nuklir 2015 itu "perjanjian cacat". Pada Maret, Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman mengatakan kepada redaksi CBS bahwa kerajaannya akan "tanpa ragu" mengembangkan senjata nuklir kalau Iran melakukannya.
Pewarta: Tia Mutiasari
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2018