"Dengan `hate free day` masyarakat bisa introspeksi dan saling merangkul untuk menguatkan persatuan dan kesatuan," kata Monib di Jakarta, Rabu.
Di dalam Hari Tanpa Kebencian, lanjut Monib, masyarakat bisa berkomunikasi dan berdiskusi secara langsung sehingga tidak timbul salah paham dan sebagainya.
"Kata Sang Buddha, jagalan akalmu karena itu adalah akar dari semuanya. Maksudnya, kebencian terjadi karena tidakpahaman akal, pikiran, dan wawasan seseorang," katanya.
Dosen agama di Universitas Prasetya Mulya ini mengungkapkan, ada beberapa faktor yang memengaruhi orang sehingga sangat mudah terpengaruh dengan ujaran kebencian, di antaranya pemahaman keagamaan dan faktor politik.
Bahkan, lanjut Monib, sekarang ini ujaran kebencian dianggap sebagai pembelaan terutama yang menyangkut agama. Banyak masjid menyampaikan khotbah dan diselingi dengan ujaran kebencian terhadap sesama.
"Sebagai umat Islam ingin, ini sangat tragis," kata pengasuh Pesantren Fatihatul Quran, Bogor, Jawa Barat itu.
Menurut dia; ujaran kebencian sengaja dilakukan oleh golongan atau kelompok untuk menyerang kelompok lain yang tidak sehaluan yang bisa merusak kebersamaan.
"`Hate Free Fay adalah upaya melawan apa yang dikembangkan tapi membawa keburukan dan merusak kebersamaan. Jadi, kalau ada hari anti ujaran kebencian itu bisa membuat orang lebih dapat mengendalikan diri saat bermedia sosial," katanya.
Baca juga: ICMI ingatkan calon kepala daerah jangan tebar kebencian
Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018