Iman tahu peristiwa ledakan usai antar korban

14 Mei 2018 08:11 WIB
Iman tahu peristiwa ledakan usai antar korban
Petugas memadamkan api yang membakar sejumlah sepeda sesaat setelah terjadi ledakan di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS), Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/5/2018). Ledakan terjadi di tiga lokasi di Surabaya, yakni di Gereja Kristen Indonesia (GKI), Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS), dan Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, pada waktu yang hampir bersamaan. (ANTARA FOTO/HO/HUMAS PEMKOT-Andy Pinaria)
Surabaya (ANTARA News) - Pagi itu, Minggu (13/5) Iman tidak berada jauh dari lokasi Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela di wilayah Ngagel, Surabaya, Jatim. Dan kebetulan melewati kawasan setempat setelah mengisi bbm buat kendaraanya.

Iman tiba-tiba terkejut karena mendengar suara ledakan keras yang tidak jauh dari lokasi ia berada, dan memberhentikan laju mobil Toyota Avanza yang dikendarinya. Sempat bertanya kepada warga sekitar, dan jawabannya ledakan itu bersumber dari trafo karena konsleting listrik.

Berusaha tidak menghiraukan, kaki Iman kemudian perlahan-lahan kembali menginjakkan pedal gas untuk melanjutkan laju mobilnya yang sempat terhenti beberapa menit akibat kaget dan shok.

Namun, betapa kagetnya ia ketika ada rombongan sekeluarga tiba-tiba menghentikan laju mobil Iman, dan meminta diantarkan ke rumah sakit terdekat.

Tanpa berpikir panjang, pria yang mengaku bekerja di sebuah kantor di Surabaya itu langsung membuka pintu dan mempersilahkan rombongan keluarga menaiki mobilnya.

Pedal gas pun diinjak kembali lebih dalam untuk mempercepat laju mobil menuju rumah sakit Rumah Sakit Bedah Surabaya, Jalan Manyar.

"Saya melihat orang tua yang kepalanya terluka dan butuh perawatan segera. Hal itu yang membuat saya tidak berpikir panjang menanyakan apa yang terjadi, dan mengantarkan mereka ke Rumah Sakit," katanya.

Sesampainya di rumah sakit, Iman baru tahu bahwa keluarga yang diantarakannya itu adalah salah satu korban ledakan bom, karena beberapa menit kemudan korban lainnya bedatangan ke rumah sakit tersebut untuk dilakukan perawatan.

Matahari pun masih tampak terlihat belum meninggi, karena waktu di jam dinding rumah sakit itu menujukkan sekitar pukul 09.00 WIB, dan Iman bergegas menelpon salah satu stasiun radio di Surabaya untuk melaporkan apa yang ia alami beberapa menit sebelumnya.

Suaranya terdengar agak terpatah-patah, karena mengingat suara ledakan cukup keras yang ia dengar sebelumnya dan membuat shok. Dalam laporan itu, Iman terdengar masih tegar dengan menjelaskan secara detail kronologi kejadian yang ia alami.

Berbeda dengan Elly, ia tidak mampu menyelesaikan ceritanya usai kejadian ledakan itu, karena mengaku tubuhnya bergetaran, sehingga cerita itu ia tutup dengan tangisan.

Elly, salah satu jemaat Gereja Santa Maria Tak Bercela Ngagel itu mengaku shok atas kejadian yang dia alami, sehingga penjelasannya terkait peristiwa ledakan di lokasi gereja itu tidak bisa disampaikan secara detail.

"Selama 40 tahun lebih saya berada di Surabaya tidak pernah mengalami kejadian seperti ini, dan saya melihat banyak korban yang ingin saya tolong, namun dilarang anak saya dan ditarik untuk segera pergi dari lokasi karena tidak aman," tutur Elly, yang tidak mau kembali bercerita.

Ungkapan Iman dan Elly itu merupakan sepenggal kisah yang dialami masyarakat akibat peristiwa ledakan bom yang menimpah di tiga lokasi di Surabaya, yakni Gereja Santa Maria Tak Bercela Ngagel, GKI Jalan Diponegoro, dan Gereja Jalan Arjuna dan Gereja Pantekosta Jalan Arjuna.



Tim Psikolosial

Menteri Sosial Idrus Marham mengakui korban dan masyarakat di sekitar kejadian akan mengalami trauma akibat peristiwa tersebut, oleh karena itu Kementerian Sosial telah menerjunkan sebanyak 25 orang personil tim Layanan Dukungan Psikososial (LDP) untuk membantu korban teror bom rumah ibadah di Surabaya.

"Ini adalah tanggung jawab negara. Dengan adanya tim LDP diharapkan dapat memberikan rasa tenang dan menghapus trauma korban dan keluarga korban secara perlahan-lahan. Kami akan berupaya sebaik mungkin menangani korban dan keluarganya," kata Marhus.

Selain personil LDP, Kemensos juga menurunkan Taruna Siaga Bencana (Tagana) sebanyak 30 orang, ditambah Tenaga Pelopor Perdamaian, Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur dan Dinas Sosial Kota Surabaya untuk membantu para korban.

Ia mengatakan, korban bencana sosial biasanya merasa takut, cemas dan was-was. Mereka juga tidak mau ditinggal sendiri dan mudah curiga pada orang lain.

Oleh karena itu Tim LDP harus menggunakan seragam sebagai identitas sehingga mudah dikenali dan memberikan rasa percaya terhadap korban.

"Kepada tim Kementerian Sosial di Surabaya secara tegas telah saya sampaikan agar pastikan terus dekat dengan mereka. Penuhi kebutuhannya. Jadilah pendengar yang baik. Biarkan mereka ekspresikan perasaannya karena itu salah satu upaya mental katarsis untuk penyembuhan mereka dari kejadian traumatis," kata Idrus.

Kementerian Sosial, kata dia, akan selalu mengambil langkah-langkah cepat dengan fokus utama menangangi para korban sebaik-baiknya.

Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial Harry Hikmat mengatakan, keberadaan tim tersebut disebar ke tiga titik lokasi kejadian, sebagian lagi melakukan pendataan di empat titik rumah sakit dimana para korban dirawat.

"Tim di lapangan secara intensif melakukan pendataan by name by address seluruh korban meninggal maupun korban luka-luka untuk keperluan pendampingan lebih lanjut dan penyiapan santunan untuk ahli waris korban meninggal serta bantuan korban luka," katanya.

Anggota LDP Provinsi Jawa Timur Twi Adi mengatakan salah satu upaya yang dilakukan timnya adalah membantu mempertemukan keluarga korban dengan korban.

"Tim kami menemukan seorang nenek yang menangis dan kebingungan di rumah sakit dan mencari adiknya yang hilang. Beliau dilaporkan melakukan ibadah di gereja GPPS Jalan Arjuna," katanya.

Pewarta: Abdul Malik Ibrahim
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2018