Dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Selasa, Ace menegaskan keluarga adalah benteng pertama dalam menjaga anak terpengaruh pemahaman radikal sebelum di sekolah dan di lingkungan sekitar.
"Pembinaan anak harusnya menjadi kewajiban keluarga, lalu di sekolah dan ketiga di lingkungan masing-masing. Ini memiliki tanggung jawab yang berbeda-beda bagi masing-masing, baik sekolah, keluarga dan lingkungan terkecil, RT atau RW," papar Ace.
Menurut dia untuk menangkal paham radikal harus ada pada ketiga hal tersebut supaya tercipta keluarga yang bisa memahami agama secara toleran, serta diberikan pendidikan sesuai prinsip Islam yang membawa rahmat pada seluruh alam.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, Ace berpendapat UU tersebut tidak bisa menjangkau hal-hal yang sangat privasi seperti dalam keluarga. Oleh karena itu, menurut dia, pembinaannya harus banyak dilakukan di luar keluarga seperti sekolah.
"Kalau ditemukan pemahaman agama anak cenderung radikal, maka sekolah punya tanggung jawab untuk membinanya dan ditelusuri lebih lanjut," terang Ace yang merupakan anggota DPR fraksi Partai Golkar.
Namun Ace memberi tak menafikan dalam kasus bom di Surabaya beberapa waktu lalu yang melibatkan anak-anak dan keluarga, justru orang tuanya merupakan tokoh organisasi terorisme. "Sehingga institusi apapun tidak bisa terlalu jauh masuk ranah keluarga," kata dia.
Menurutnya, aparat seperti Badan Intelijen Negara (BIN) atau Densus 88 bisa mendeteksi bibit radikal dan melacak aktivitas jaringan teroris.
"Jaringan terorisme cukup mengakar, mudah sekali dideteksi. Kecenderungan orang intoleran mudah disusupi bibit radikalisme. Hal-hal seperti ini bisa dideteksi dengan cara melihat perilaku, relasinya, serta menjadi anggota organisasi apa. Juga bisa dilihat dari cara berpakaian, kendati itu bukan satu-satunya," jelas Ace.
Baca juga: Kasal ingatkan prajurit jangan terpengaruh paham radikalisme
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018