• Beranda
  • Berita
  • Upaya pemerintah hadapi ancaman dari kelompok teroris

Upaya pemerintah hadapi ancaman dari kelompok teroris

22 Mei 2018 23:10 WIB
Upaya pemerintah hadapi ancaman dari kelompok teroris
Kadiv Humas Polri Irjen Pol Setyo Wasisto menunjukkan barang bukti bom yang digunakan oleh Para Terduga Teroris saat keterangan pers mengenai kasus teror Bom Surabaya di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (15/5/2018). Mabes Polri melalui Kepala Divisi Humas Polri, Inspektur Jenderal Polisi Setyo Wasisto mengatakan Pihak Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri menangkap 13 orang anggota Jamaah Asharut Tauhid (JAD) Surabaya pasca aksi teror yang terjadi di Surabaya. (ANTARA FOTO/Reno Esnir)
Jakarta (ANTARA News) - Ketika umat muslim di Indonesia sedang bersiap-siap menyambut datangnya bulan suci Ramadhan, tampaknya para teroris juga begitu bersemangat dalam melakukan aksi terornya.

Dalam waktu satu pekan saja, setidaknya terjadi empat aksi teror yang mengakibatkan banyak korban jiwa dan luka-luka di berbagai daerah di Indonesia.


Kerusuhan Mako Brimob

Insiden pertama terjadi di kandang polisi sendiri, yaitu di Rumah Tahanan yang terletak di Mako Brimob, Depok, Jawa Barat pada Selasa (8/5). Pada saat itu terjadi kerusuhan yang berujung tewasnya lima anggota Polri.

Aksi kerusuhan ini pun diwarnai dengan penyanderaan yang baru bisa berakhir setelah para narapidana menyerah dan polisi mengamankan narapidana lainnya.

Wakapolri Komjen Pol Syafruddin menegaskan operasi penanggulangan kerusuhan di Mako Brimob sejak 36 jam tersebut, telah berakhir pada Kamis (10/5) pagi pukul 07.15 WIB.

Saat memberikan keterangan pers di Mako Brimob, Depok, Kamis, dia menyebutkan sekitar 95 persen narapidana dan tahanan teroris telah menyerahkan diri dan akan dilakukan isolasi serta pemindahan tahanan.

Aksi teror di Mako Brimob masih belum berakhir setelah kejadian tersebut, anggota Intel Brimob Polri Kelapa Dua Depok Bripka MP meninggal dunia usai ditusuk orang tidak dikenal pada Kamis (10/5) malam.

Kejadian itu berawal ketika Bripka MP mencurigai seseorang yang tidak dikenal berada di depan Rumah Sakit Bhayangkara Brimob Kelapa Dua. Anggota Brimob itu mengamati selama dua jam kemudian membawa pria tersebut menggunakan sepeda motor ke Kantor Satuan Intelkam Brimob. Selanjutnya, pelaku itu menusuk Bripka MP pada bagian perut sebelah kanan ketika sampai di Kantor Satuan Intel Brimob.


Rentetan Bom Jawa Timur

Dalam waktu dua hari, ketenangan kota Surabaya menjadi terusik karena adanya beberapa aksi teror yang terjadi secara berurutan. Kepolisian Daerah Jawa Timur menyatakan ada tiga serangan bom di tiga gereja di Kota Pahlawan itu, Minggu (13/5).

"Kejadian bom ada di tiga lokasi. Di Gereja Santa Maria Tak Bercelah Ngagel, GKI Jalan Diponegoro, dan Gereja Jalan Arjuna," kata Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol Frans Barung Mangera.

Ketiga aksi pemboman ini telah memakan korban jiwa sebanyak 14 orang.

Masih pada hari yang sama, sebuah bom meledak di rumah susun Wonocolo, Sepanjang, Sidoarjo, Jawa Timur, hanya sekitar 14 jam setelah aksi teror bom di tiga Gereja yang ada di Surabaya. Peristiwa itu telah menewaskan tiga orang yakni pelaku, istri dan seorang anaknya.

Belum genap sehari berlalu, kembali terjadi sebuah ledakan pada 14 Mei 2018 yaitu aksi bom bunuh diri di pintu atau gerbang masuk Mapolrestabes Surabaya yang menyebabkan empat pelaku tewas dan masyarakat serta polisi yang ada di sekitar ledakan juga terluka.

Tak hanya di Jawa Timur, aksi teror juga terjadi pada 16 Mei 2018 terduga teroris menyerang Mapolda Riau yang menyebabkan seorang polisi meninggal, sedangkan empat orang terduga teroris ditembak hingga tewas.

Rentetan aksi teror yang terus terjadi ini membuat Polri melakukan tindakan tegas terhadap kelompok-kelompok teroris yang ada di Indonesia. Polri sendiri mengklaim bahwa selama tujuh hari penindakan terhadap pelaku terorisme pasca bom Surabaya, telah 74 pelaku teror yang ditangkap, termasuk 14 diantaranya yang tewas karena melawan petugas.

Tujuh puluh empat pelaku teror itu rinciannya 31 orang ditangkap di Jawa Timur (empat diantaranya tewas), 16 orang ditangkap di Banten dan DKI Jakarta (dua tewas), empat orang ditangkap di Lampung, delapan orang ditangkap di Jawa Barat (empat tewas), enam orang ditangkap di Sumatera Utara dan sembilan orang ditangkap di Riau (empat tewas).


Respon Pemerintah Terhadap Aksi Teror

Aksi teror yang berturut-turut telah mengundang perhatian dan kecaman dari berbagai pihak. Terlebih dalam aksinya para teroris melibatkan keluarga dan anak-anaknya. Presiden Joko Widodo menyatakan serangkaian aksi terorisme di tiga Gereja di Surabaya merupakan tindakan biadab dan di luar batas kemanusian.

"Tindakan terorisme kali ini sungguh biadab dan di luar batas kemanusian yang menimbulkan korban anggota masyarakat, anggota kepolisian dan juga anak-anak yang tak berdosa," kata Presiden Jokowi saat menjenguk korban teror di tiga Gereja di RS Bhayangkara Surabaya.

Ia juga mengutuk para pelaku yang mengunakan dua anak yang berumur kurang lebih 10 tahun digunakan untuk pelaku bon bunuh diri. "Tak ada kata yang dapat menggambarkan betapa dalam duka cita kita semua atas jatuh korban akibat serangan bom diri di Surabaya ini," kata dia.

Salah satu upaya pemerintah untuk membantu Polri dalam memberantas terorisme adalah mengaktifkan kembali Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopssusgab) TNI.

Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian mendukung pembentukan Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopssusgab) yang melibatkan TNI untuk memberantas teroris.

"Saya sepakat dengan Panglima TNI. Saya yang minta bapak Panglima Marsekal Hadi (Tjahjanto) agar kekuatan TNI masuk ke operasi itu," kata Tito.

Koopssusgab merupakan tim anti-teror gabungan tiga matra TNI. Pasukan ini berasal dari Sat-81 Gultor Komando Pasukan Khusus milik TNI Angkatan Darat, Detasemen Jalamangkara TNI Angkatan Laut dan Satbravo 90 Komando Pasukan Khas dari TNI Angkatan Udara.


Revisi UU Terorisme

Salah satu upaya yang juga penting untuk dilakukan adalah menyelesaikan revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

"Diupayakan mulai masa sidang (DPR) itu, revisi (UU Pemberantasan Terorisme) jadi prioritas untuk dibicarakan karena kita ada `problem` sedikit masalah kata-kata di dalam definisi," kata Tito.

Hingga saat ini masih terjadi perdebatan antara berbagai pihak tentang definisi terorisme yang membuat revisi Undang-undang ini belum dapat disahkan.

Presiden Joko Widodo mendesak DPR RI dan sejumlah kementerian terkait untuk segera menyelesaikan revisi UU tersebut yang telah diajukan sejak Februari 2016 atau lebih dari dua tahun lalu itu. Undang-Undang hasil revisi itu kelak dapat memperkuat Polri dan aparat keamanan lain dapat melakukan penindakan dan pencegahan terhadap terorisme.

Aksi teror memang dapat terjadi di tempat dan waktu yang tidak terduga. Oleh karena itu, kita berharap agar rentetan aksi teror yang terjadi saat ini merupakan yang terakhir.

Kita juga berharap semua pihak mau bekerja sama untuk mendeteksi secara dini adanya potensi penyebaran doktrin-doktrin terorisme di masyarakat.

TNI dan Polri selaku aparat keamanan dan penegak hukum diharapkan untuk mampu bekerja sama dengan baik agar aksi-aksi teror tidak terjadi lagi dan masyarakat dapat hidup dengan damai dalam keberagaman agama dan budaya di ibu pertiwi ini.

Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018