• Beranda
  • Berita
  • DPR: Pancasila kikis gerakan radikalisme dan terorisme

DPR: Pancasila kikis gerakan radikalisme dan terorisme

1 Juni 2018 18:52 WIB
DPR: Pancasila kikis gerakan radikalisme dan terorisme
Presiden Joko Widodo (tengah), Wakil Presiden Jusuf Kalla (kedua kanan), Ketua Dewan Pengarah BPIP Megawati Soekarnoputri (kedua kiri), Wakil Presiden ke-6 Tri Sutrisno (kiri) dan Wakil Presiden ke-11 Boediono (kanan) menghadiri upacara Hari Lahir Pancasila di halaman Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Jumat (1/6/2018). Pada momentum peringatan Hari Lahir Pancasila presiden menegaskan, Pancasila ditetapkan oleh para pendiri bangsa dari berbagai kelompok sebagai pemersatu perbedaan serta menjadi fondasi dibangunnya Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. (ANTARA/Puspa Perwitasari)
Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi III DPR Ahmad Sahroni mengatakan Hari Kelahiran Pancasila yang diperingati setiap 1 Juni menjadi pengingat akan pentingnya persatuan dan menghargai kebhinekaan.

Dengan demikian diharapkan Hari Kelahiran Pancasila dijadikan momentum untuk mengikis gerakan radikalisme, termasuk terorisme.

"Terkait Hari Kelahiran Pancasila, saat ini saya pribadi menganggap yang sedang marak sekarang tentang radikalisme mungkin sudah keluar dari ranah semestinya. Padahal dasar kita bernegara dari Pancasila dan UUD 1945," kata Sahroni, di Jakarta, Jumat.

Ia mengingatkan, dengan pancasila sebagai dasar negara, pendiri negara telah mempersatukan Indonesia yang terdiri atas berbagai suku dan bahasa serta kebudayaan menjadi satu bangsa. Sayangnya hingga beberapa tahun terakhir, upaya menghancurkan persatuan masih terus tampak di tanah pertiwi.

Menurut dia, penanggulangan terorisme meski terus dilakukan oleh penegak hukum dibantu TNI, tapi semakin banyak dan bibitnya dalam proses pembesaran. Bahkan tak hanya dengan upaya pembibitan terhadap kaum muda, aksi terorisme yang dilakukan beberapa waktu lalu bahkan melibatkan anak-anak.

"Radikalisme model baru ini melibatkan anak. Doktrinnya luar biasa, melalui media sosial, misalnya mengajarkan anak bukan lagi bercita-cita jadi presiden, dokter atau pengusaha besar. Ini kultur yang harus diperbaiki dari atas ke bawah. Sedih melihat Indonesia dengan kultur luar biasa dibandingkan negara lain di dunia harusnya lebih adem dan terjalin silatirahim yang hebat," tutur politisi Partai NasDem ini.

Ia juga mengingatkan, upaya pengaderan terus dilakukan jaringan teroris. Bukan hanya telah menjangkau lingkungan akademis seperti kampus ataupun universitas, jaringan ini bahkan juga telah berani menanamkan paham radikal ke aparat penegak hukum.

"Jangankan universitas, dari kepolisian pun sudah masuk. Lambat laun akan menjadi sel baru, perlahan di doktrin dan memakai sarana medsos. Bisa jadi 10 tahun ke depan ada orang-orang baru (teroris) yang tidak kita pikirkan," katanya.



Makin baik

Sahroni meyakini upaya pemberantasan terorisme setelah disetujuinya UU Antiterorisme akan semakin lebih baik, salah satunya dengan pelibatan TNI di dalamnya. Ia meminta pemberantasan terorisme tak terus dikaitkan dengan pelanggaran HAM karena tindakan dilakukan para pelaku justru membuat Indonesia terkukung dalam kesedihan.

Dalam kesempatan yang sama pria yang tumbuh besar di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara ini menekankan pentingnya menjaga keharmonisan khususnya atas berbagai perbedaan yang ada di Indonesia.

Khususnya, di tahun politik dan jelang pemilihan presiden dan legislatif yang dilakukan secara serentak, Polri selaku aparat penegak hukum dan TNI harus mampu mendeteksi upaya dimunculkannya kegaduhan dan memecah belah persatuan.

"Polri dibantu TNI harus mewaspadai upaya munculnya konflik sosial dan gerakan radikal di berbagai daerah yang akan memecah persatuan, khususnya jelang Pilpres dan Pileg serentak," demikian Ahmad Sahroni.
 

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2018