Pasca kemerdekaan, aturan tersebut berubah menjadi menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS) sejak 26 Februari 1946 yang kemudian dikenal dengan nama KUHP.
Perubahan aturan hukum adalah hal yang lumrah agar hukum yang berlaku di suatu daerah lebih sesuai dengan nilai-nilai masyarakat yang hidup dinamis di tempat tersebut.
Bagian awal KUHP sendiri berbunyi "hukum pidana nasional tersebut harus disesuaikan dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang bertujuan menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Artinya hukum pidana nasional dalam hal ini KUHP harus mencerminkan dapat mewujudkan keadilan, kepastian dan tentu saja bermanfaat bagi masyarakat yang hidup dalam hukum tersebut, yaitu sesuai dengan Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa. Cita-cita yang sangat mulia!
"Sampai hari ini, Republik Indonesia belum punya terjemahan resmi dari KUHP. Kita masih memakai KUHP dengan terjemahan berbeda. RI perlu punya KUHP nasional yang juga bagian dari upaya rekodifikasi dari KUHP yang lama," kata Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) sekaligus Ketua Tim Musyawarah RUU KUHP Enny Nurbaninsih saat mengungkapkan salah satu alasan pelaksanaan kodifikasi hukum dalam RKUHP.
Lalu mengapa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa pekan terakhir "ngambek" dan bersikeras menolak pengaturan korupsi ke dalam KUHP?
Baca juga: Wapres: RKUHP dan UU Tipikor berjalan beriringan
Baca juga: KPK minta masukan ahli soal pasal korupsi dalam RKUHP
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyatakan KPK tidakada masalah dengan niat kodifikasi (penyusunan kitab perundang-undangan) asalkan khusus tindak pidana korupsi (tipikor) berada di luar KUHP.
Laode beralasan bila tipikor masuk dalam KUHP yaitu ke bagian ketiga Bab XXXVIII mengenai tindak pidana korupsi pasal 687-696 maka kewenangan KPK sebagai lembaga penegak hukum yang utamanya bertugas melakukan penindakan terhadap kejahatan korupsi menjadi dipertanyakan.
"UU KPK menentukan bahwa mandat KPK adalah memberantas korupsi sebagaimana diatur dalam UU No 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor dan pasal 1 angka 1 UU No 30 tahun 2002 tentang KPK. Kalau tipikor masuk ke KUHP apakah pasal tersebut masih berlaku? Apa KPK masih bisa menyelidik, menyidik dan menuntut kasus korupsi karena di RUU KUHP tidak ada penegasan soal kewenangan lembaga KPK?" kata Laode.
Rincian pasal
Laode mengungkapkan ada sejumlah pasal dalam UU Pemberantasan Tipikor yang dimasukkan dalam KUHP, tapi dengan sejumlah perbedaan yang menguntungkan pihak yang diduga melanggar KUHP tersebut misalnya dalam RKUHP mengatur pengurangan ancaman pidana sebesar 1/3 terhadap percobaan, pembantuan, dan permufakatan jahat tindak pidana korupsi; tidak adanya pengaturan hukuman mati untuk terpidana korupsi; penurunan ancaman pidana denda terhadap pelaku korupsi; serta tidak diaturnya pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti dalam RKUHP.
Perbandingan pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut:
Pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor vs pasal 687 RKUHP mengatur perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara.
Pasal 2 ayat (1) : Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonornian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar. Ayat (2): Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Pasal 687: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Kategori II (Rp10 juta) dan paling banyak Kategori VI (Rp2 miliar).
Pasal 3 UU Pemberantasan Korupsi vs pasal 688 RKUHP mengatur perbuatan menguntungkan diri sendiri/orang lain yang merugikan keuangan negara
Pasal 3: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan kouangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Pasal 688: Setiap Orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu Korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Kategori II (Rp10 juta) dan paling banyak Kategori IV (Rp150 juta).
Pasal 5 UU Pemberantasan Korupsi vs pasal 689 RKUHP mengatur perbuatan memberi atau menjanjikan suap kepada penyelenggara negara.
Pasal 5 huruf (a) Setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau huruf (b) memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 ribu.
Pasal 689 ayat (a) Setiap Orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau ayat (b) memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan denda paling sedikit Kategori II (Rp10 juta) dan paling banyak Kategori IV (Rp150 juta).
Pasal 11 UU Pemberantasan Korupsi vs pasal 691 RKUHP mengatur penyelenggara negara yang menerima suap pasif
Pasal 11: pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.
Pasal 691: Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan denda paling sedikit Kategori II (Rp10 juta) dan paling banyak Kategori IV (150 juta).
Pasal 13 UU Pemberantasan Korupsi vs pasal 690 RKUHP tentang orang yang memberikan suap pasif kepada penyelenggara negara.
Pasal 13: Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap, melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan atau denda paling banyak Rp150 juta
Pasal 690: Setiap orang yang memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 atau denda paling banyak Kategori II (Rp10 juta).
Pasal 12 B UU Pemberantasan Korupsi vs pasal 692 RKUHP mengatur penerimaan gratifikasi.
Pasal 12B: Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya diancam pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Pasal 692: Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya diancam pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Kategori II (Rp10 juta) dan paling banyak Kategori V (Rp500 juta).
Pasal 21 dan 22 UU Pemberantasan Korupsi vs pasal 306 RKUHP mengatur perbuatan merintangi investigasi kasus korupsi.
Pasal 21: Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara Langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi dan pasal 22: Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp150 150 juta dan paling banyak Rp600 juta.
Pasal 306: Setiap orang yang (a) dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan mengintimidasi penyelidik, penyidik, penuntut umum, advokat, atau hakim sehingga proses peradilan terganggu; (b) menyampaikan bukti palsu, keterangan palsu atau mengarahkan saksi untuk memberikan keterangan palsu di sidang pengadilan; (c) mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan; (d) melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan kepada pejabat yang sedang bertugas dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan; atau (e) merusak alat bukti atau Barang bukti dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun dan pidana denda paling banyak Kategori V (Rp500 juta).
Baca juga: KPK usul pemerintah keluarkan delik khusus tipikor
Baca juga: Bamsoet: RKUHP kado DPR bagi HUT ke-73 RI
Selanjutnya RKUHP juga tidak mengatur mengenai pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor yaitu pidana tambahan berupa (a) perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud barang tidak bergerak yang digunakan untuk yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, (b) pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, (c) penutupan usaha atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 tahun; (d) pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
Komitmen pemerintah
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly pun menegaskan bahwa KPK seharusnya tidak perlu berprasangka buruk mengenai masuknya delik korupsi ke KUHP.
"Tidak usah suudzon lah, yang penting sekarang namanya KUHP kan induk hukum pidana, konstitusi ada aturan pokoknya, semua dibuat aturan dasar yang sangat generik turunannya di undang-undang. (KPK) kan lex specialis kecuali kita buat semua lembaga harus tunduk ke sini, semua aturan harus tunduk ke sini, so pasti saya jamin," kata Yasonna.
Padahal dalam pasal 723 RKUHP disebutkan dalam jangka waktu 1 tahun sejak KUHP dinyatakan berlaku, Buku Kesatu UU itu menjadi dasar bagi ketentuan-ketentuan pidana di luar KUHP, artinya pemidanaan di dalam UU Pemberantasan Tipikor menjadi tidak berlaku lagi, lalu perkara apa saja yang masih bisa diusut KPK?
Belakangan pemerintah juga menambahkan pasal 729 dalam RKUHP yang menyebutkan "Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan Bab tentang Tindak Pidana Khusus dalam Undang-Undang ini tetap dilaksanakan berdasarkan kewenangan lembaga yang telah diatur dalam Undang-Undang masing-masing".
"Pasal 729 baru muncul setelah ribut-ribut sekitar muncul 2 bulan terakhir, pada draf Januari belum ada. Pasal peralihan itu juga belum tentu disetujui DPR jadi bila tidak dimasukkan dalam KUHP maka langsung hilang kewenangan KPK dalam pasal-pasal korupsi tersebut," kata seorang pejabat KPK.
Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa karena kejahatan ini menyangkut hak politik, sosial, eknomi rakyat, bersifat destruktif dan mengganggu suatu kegiatan pembangunan negara. Tipikor juga sudah menjadi penyakit yang sistemik dan endemik lalu bertransformasi menjadi tindak pidana luar biasa (extra ordinary crimes).
Negara-negara lain meyakini korupsi merusak kepercayaan masyarakat dan melangar nilai-nilai dalam kehidupan seperti kejujuran, transparansi, akutanbilitas bahkan tidak menghargai proses penegakan hukum di suatu negara itu sendiri. Sifat extra ordinary crimes seharusnya mendorong best effort dalam penegakan hukum yang tidak saja bergantung pada aparat penegak hukum, tapi rumusan UU serta seluruh komponen masyarakat.
Lalu apakah RUU KUHP ini sudah menjadi best effort untuk memberantas korupsi?
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2018