• Beranda
  • Berita
  • Muasal penulisan "Bumi Manusia" seturut keturunan Pram

Muasal penulisan "Bumi Manusia" seturut keturunan Pram

6 Juni 2018 15:19 WIB
Muasal penulisan "Bumi Manusia" seturut keturunan Pram
Astuti Ananta Toer, putri Pramoedya Ananta Toer, bersama Angga Okta Rahman, cucu Pram, di konferensi pers "Bumi Manusia", Studio Alam Gamplong, Sleman, Yogyakarta, Kamis (24/5/2018) (ANTARA News/ Nanien Yuniar)

Karena bagi Pram menulis itu adalah tugas nasional.

Jakarta (ANTARA News) - Astuti Ananta Toer dan Aditya Ananta Toer mengungkapkan asal mula penulisan novel "Bumi Manusia" karya Pramoedya Ananta Toer, seperti yang diunggah dalam akun Instagram @astutianantatoer.

Astuti mengunggah dua foto halaman penuh tulisan berjudul "Bumi Manusia: Simbol Kebenaran, Keberanian, Perlawanan dan Pembebasan".

Menurut Astuti, segalanya berawal ketika Pram, panggilan akrab ayahnya, bekerja sebagai dosen di Universiteit Respublika (Universitas Trisakti) pada 1960-an dan mewajibkan mahasiswanya untuk mengkliping koran sebagai tugas mata kuliah sejarah selama 1 tahun terbit koran di arsip nasional (Museum Gajah).

Setelah memberi nilai, tugas-tugas mahasiswa itu tidak dibuang. Pram menyusun berdasarkan tahun dan mempelajari isi kliping hasil kerja mahasiswanya.

"Dari situlah terpikir untuk membuat Ensiklopedi Indonesia," tulis Astuti dan Aditya.

Selain itu, Pram juga menyusun sejarah kebangkitan nasional dari pemuda Indonesia pada 1890 hingga 1918, masa sejarah yang tak banyak ditulis oleh penulis-penulis Indonesia.

Pram butuh dana besar untuk melanjutkan penelitian tersebut dan sebagian biayanya dibantu oleh mertuanya, ayah dari Maemunah Thamrin. Astuti menulis, arsip milik Pram lebih lengkap ketimbang arsip nasional.

"Dari itulah tercermin bahwa Pram adalah pengumpul arsip yang handal," tulisnya.

Pada 1965, seorang intel beberapa kali mendatangi Pram, mengajukan tawaran untuk menukar arsip itu dengan mobil Impala yang mewah pada zaman tersebut. Beberapa kali juga Pram menolak dengan alasan arsip tersebut adalah warisan untuk generasi mendatang untuk mengenal sejarah bangsanya sendiri.

"Dibalas lah jawaban Pram: ' Pak Pram...., Ibaratnya saya ini kucing dan Pak Pram tikusnya".' kata Intel pada Pram.
 
 

Mari kuceritai.....

Sebuah kiriman dibagikan oleh Astuti Ananta Toer (@astutianantatoer) pada


Pada 1965, Pram dibawa ke suatu tempat. Sebelumnya dia sudah berpesan pada pihak yang mengamankannya agar tidak memusnahkan arsip tersebut. Pram ditahan di beberapa tempat hingga akhirnya tiba di pulau Buru.

Pada 1969-1970, banyak tahanan politik (tapol) di pulau Buru merasa putus asa. Ada yang merenggut nyawanya sendiri, mengalami gangguan jiwa sampai berulah agar dirinya dibunuh.

"Di situlah Pram membuat cerita secara lisan dan disampaikan dari mulut ke mulut kepada sesama tapol mengenai seorang wanita desa yang tidak punya apa-apa, tidak punya kebisaan apa-apa menjadi sosok wanita yang kuat dan revolusioner," tulis Astuti.

Pram pun membesarkan hati para tahanan politik agar tetap kuat dan bersemangat menjalani hidup. Dia berkata pada mereka, "Apakah kalian sebagai laki-laki tidak merasa malu pada seorang wanita yang tidak punya kelebihan apa pun, bisa menjadi seorang yang hebat? Kalian itu laki-laki yang seharusnya lebih kuat dari wanita."

Tokoh yang dimaksud Pram adalah Nyai Ontosoroh. Angga Okta Rahman, Cucu Pram, dalam konferensi pers film "Bumi Manusia" di Yogyakarta pada Mei silam, menuturkan karakter tersebut diharapkan bisa melecut keberanian dan semangat para tapol yang merasa kehilangan harapan.

"Di Bumi Manusia diangkat Nyai Ontosoroh, sesosok perempuan yang bisa dibilang hidupnya itu dari nol, sampai akhirnya dia tumbuh menjadi sosok yang kuat," kata Angga.

Pada 1973, Pram mendapat mesin tik dari penulis cum filsuf Prancis Jean-Paul Sartre dan mulai diizinkan menulis lagi. Astuti dan Aditya menjabarkan, ayahnya punya kelebihan unik. Dia punya ingatan kuat, apa yang dipikirkannya bakal terus melekat di otak bila selama belum dituangkan ke atas kertas. 

"Tapi jika sudah dituangkan ke atas kertas, maka beban yang ada di otaknya akan sirna."

Tak mengherankan rencana tulisannya pada 1958-1973 masih terus diingat hingga akhirnya dituliskan oleh Pram di atas kertas. Keterbatasan kertas membuat Pram terpaksa mengetik dengan kertas semen. Persediaan tinta juga terbatas, sehingga dia juga harus membuat sendiri menggunakan arang atau daun pacar yang direbus, lalu pitanya dicelupkan ke sana, kemudian dijemur.

"Alasan itu pula mengapa teks asli tulisannya tidak jelas, buram dan berwarna merah kekuning-kuningan."

Baca juga: Mengintip lokasi syuting "Bumi Manusia" di Yogyakarta (Video)

Baca juga: Mawar De Jongh mulai mengenal Pramoedya Ananta Toer lewat tawaran film

Baca juga: Jadi Minke, Iqbaal Ramadhan harus belajar bahasa Belanda

Baca juga: Ine Febriyanti akhirnya berjodoh dengan Nyai Ontosoroh


"Bumi Manusia", awal dari tulisan Pram yang sekarang dikenal sebagai Tetralogi Buru itu terdapat simbol-simbol pergerakan pemuda era 1890-1910, di mana pemuda mulai berpikir rasional dan mencetuskan kebangkitan pergerakan pemuda untuk memajukan bangsa.

Menurut Astuti, cerita itu dibuat agar pemuda masa kini dapat belajar sejarah dengan mudah. Simbol-simbolnya berupa karakter dalam novel "Bumi Manusia".

Minke adalah pemuda pribumi yang tidak disukai kaum Indo-Belanda maupun Belanda asli. Dia adalah pengumpul arsip yang handal, penulis dan wartawan.

Annelis, gadis Indo-Belanda berjiwa rapuh, menggambarkan tidak selamanya Indo punya kekuatan.

Nyai Ontosoroh, ibu Annelis, adalah simbol gerakan dan perlawanan.

Jean Marrais menyimbolkan pemikir yang mendalami kejiwaan Indonesia.

"Pram berharap dari tulisannya, setiap pembacanya mempunyai kekuatan lebih berani!"

Menurut Astuti, bila pembaca dapat menangkap inti tersebut dari "Bumi Manusia", artinya sang ayah berhasil sebagai penulis.

"Karena bagi Pram menulis itu adalah tugas nasional."

Ia menutupnya dengan kutipan Pram, "Kau boleh pandai setinggi langit, tapi jika tidak menulis maka kau akan dilupakan oleh sejarah".

Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2018