Bulan puasa yang disambut suka cita juga menyelipkan kegetiran karena Ramadhan kali ini harus dijalani di kamp pengungsian bagi sekitar 700 ribu warga Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh sejak Agustus 2017.
Menjalani Ramadhan di kamp pengungsian merupakan hal baru bagi mereka. Semua serba terbatas dan bergantung pada bantuan yang ada. Hal ini tentu berbeda ketika mereka masih berada di kampung halaman.
"Ini adalah kabar buruk dan menyesakkan hati bagi semua kaum Muslim. Setiap Muslim menyiapkan sahur dengan berbagai makanan terbaik. Tetapi saudara-sadari kami Muslim Rohingya harus puas dengan sedikit makanan. Ada beberapa pengungsi yang tidak memiliki makanan. Mereka hanya bisa sahur dengan nasi atau air saja," kata Emam, salah seorang pengungsi kepada ANTARA News.
Ia mengatakan bahwa para pengungsi Rohingya tidak memiliki makanan yang cukup karena hanya bergantung pada pemberian LSM, seperti beras, gula, dal dan minyak.
"Mereka telah kehilangan segalanya di Myanmar. Di sisi lain mereka tidak memiliki izin untuk mencari uang di luar kamp pengungsian. Jadi mereka harus bergantung pada donasi dari LSM. Sejumlah organisasi memberi mereka beras, minyak, gula. Saya pikir itu tidak cukup untuk mereka karena mereka juga membutuhkan berbagai jenis makanan seperti ikan, daging, dan sayuran," jelasnya.
Salah satu pekerja LSM dari Aksi Cepat Tanggap (ACT) Muhajir, yang sempat merasakan Ramadhan bersama pengungsi Rohingya di kamp Integrated Community Shelter di Kutupalong--kamp terbesar di Bangladesh, mengungkapkan kegetiran mereka yang baru pertama kalinya menjalani bulan puasa di pengungsian.
Menurut dia, pengungsi Rohingya berasal dari latar belakang sosial yang beragam. Beberapa di antara mereka cukup berkecukupan dan berpendidikan sebelum menjadi pengungsi, dan banyak juga yang dari kelompok kurang berkecukupan.
Tetapi di kamp tersebut, semuanya merasakan yang sama. Semua bergantung kepada bantuan yang diberikan sejumlah NGO, termasuk ACT dan Pemerintah Bangladesh.
"Mereka bersedih, tahun kemarin masih merasakan Ramadhan dan Idul Fitri di kampung halaman, namun sekarang harus di pengungsian. Dulu mereka bisa makan tanpa perlu bergantung pada NGO, tidak seperti yang mereka alami sekarang," ujar Muhajir.
"Uniknya lagi, hanya ACT yang mempunyai program Ramadhan, di NGO lain tidak ada program Ramadhan atau Idul Fitri. Maka ketika ada program Ramadhan dari kami, mereka sangat antusias," tambahnya.
Selama Ramadhan, ACT mendistribusikan 100 paket pangan (yang terdiri atas beras, dal, garam, minyak goreng, kurma, gula, dan bawang) bersamaan dengan pemberian bantuan pendidikan ke madrasah serta penyelenggaraan buka puasa bersama para pengungsi Rohingya.
Suasana religius
Muhajir mengatakan meskipun kesedihan menggelayuti suasana Ramadhan di kamp pengungsian namun nuansa religius begitu terasa di sana.
Kesedihan tidak membuat para pengungsi meninggalkan ibadah bahkan ibadah sunnah.
"Setiap hari mereka melakukan aktivitas pengajian, bapak-bapak selalu shalat berjamaah. Meskipun di pengungsian, nuansa religius begitu terasa setiap hari," ungkap Muhajir.
Seperti dikutip dari ACT, suara anak-anak yang sedang menghafal Alquran nyaring terdengar dari balik bangunan bambu berukuran 5x12 meter. Bangunan semi permanen itu merupakan salah satu rumah tahfiz dalam kompleks ICS ACT, di Kutupalong.
Saat Zuhur tiba, bapak-bapak, remaja laki-laki, dan anak laki-laki langsung memenuhi masjid. Usai shalat, mereka membuat formasi melingkar melakukan kajian hadis yang dipimpin oleh salah satu ustadz.
Baca juga: Din Syamsuddin dorong pengakuan kewarganegaraan Rohingya saat bertemu Suu Kyi
Baca juga: Myanmar perintahkan warga Rohingya untuk tinggalkan zona perbatasan
Baca juga: PBB: lebih dari 16.000 bayi lahir di kamp Rohingya Bangladesh
Pewarta: Monalisa
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2018