"Zakat sangat penting dalam mengurangi kesenjangan sosial yang menjadi incaran penyebaran radikalisme dan terorisme," ujar Nasaruddin dalam siaran pers di Jakarta, Sabtu.
Menurut Nasaruddin, radikalisme dan terorisme tidak hanya dipicu faktor ideologi, tetapi juga faktor ekonomi, sosial, dan politik.
Sayangnya, lanjut Nasaruddin, jumlah penduduk miskin terlalu besar dibandingkan nilai zakat umat Islam di Indonesia sehingga kontribusinya masih sangat kecil.
Selain itu, sejauh ini belum dirancang pengeluaran zakat untuk berkontribusi dalam pencegahan terorisme, terutama untuk mendukung program deradikalisasi.
Mestinya lembaga atau badan penyalur zakat seperti Baznas dan Dompet Dhuafa bisa duduk bareng dengan pemerintah, dalam hal ini Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), untuk mengarahkan zakat guna memperkecil ketimpangan antara si kaya dan si miskin, serta para mantan kombatan dan napi terorisme yang telah insyaf dan butuh pekerjaan untuk melanjutkan hidupnya.
"Itu penting agar mereka tidak berpikir lagi untuk kembali menjadi teroris," kata rektor Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran (PTIQ) Jakarta itu.
Oleh karena itu, ia mengimbau umat Islam agar lebih giat mengeluarkan zakat, infak, hibah, jariyah, dan wasiyah untuk membuat umat Islam yang kekurangan.
"Mestinya itu harus dikeluarkan satu paket dengan 27 pundi ekonomi Islam. Terlalu pelit kita sebagai umat Islam manakala pengeluarannya hanya zakat. Hanya 2,5 persen," katanya.
Sebenarnya, kata Nasaruddin, hal itu bisa diatasi dengan kebijakan pemerintah. Namun, itu juga berat karena pajak yang diterima pemerintah saat ini peruntukannya masih belum memihak kepada rakyat kecil.
"Namun, dalam hal ini pemerintah tidak bisa disalahkan karena pendapatan pajak itu digunakan untuk membangun visi jangka panjang, membangun infrastruktur yang jumlahnya triliunan," katanya.
Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2018