"Tradisi `maleman` ini dirayakan warga secara bergantian setiap malam ganjil pada 10 malam terakhir bulan Ramadhan," kata Kepala Dinas Pariwisata Kota Mataram H Abdul Latif Nadjib di Mataram, Rabu.
Ia mengatakan, "Dilah" atau "dile" artinya lampu, sedangkan "jojor" adalah obor kecil, sehingga "dilah jojor` adalah obor kecil hasil kreasi masyarakat yang terbuat dari batang bambu, minyak, dan kapas.
Masyarakat, terutama kelurahan berpenduduk asli seperti Kelurahan Dasan Agung mengawali kegiatan malam Nuzulul Quran berbuka puasa bersama di masjid dengan masyarakat dan tokoh agama dirangkaikan doa dan zikir.
"Tujuannya, untuk mempererat tali silaturrahmi antar-masyarakat dan tokoh agama di setiap lingkungan," katanya.
Kemudian setelah shalat magrib berjamaah, barulah warga menyalakan "dilah jojor" di pinggir rumah masing-masing sebagai salah satu pelestarian tradisi budaya.
Dengan perkembangan zaman saat ini, lingkungan yang merayakan tradisi "maleman" kini tidak hanya menyalakan "dilah jojor" melainkan kerap kali diganti dengan lampu lilin atau lampu templek.
Bahkan, anak-anak dan remaja di lingkungan bersangkutan juga menyalakan kembang api sebagai tanda di lingkungan tersebut sedang berlangsung tradisi "maleman".
"Untuk malam ganjil terakhir yakni tanggal 29 Ramadhan (nanti malam) tradisi `maleman` berlangsung di Lingkungan Perigi Dasan Agung," sebutnya.
Tradisi menyalakan "dilah jojor", katanya lagi, sudah menjadi tradisi turun termurun di Kota Mataram, terutama pada kelurahan atau lingkungan yang berpenduduk asli.
Baca juga: Warga Indonesia di Bangkok peringati Nuzulul Quran
Pewarta: Nirkomala
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2018