• Beranda
  • Berita
  • KPPOD: Kampanye medsos pelanggaran netralitas ASN terbanyak

KPPOD: Kampanye medsos pelanggaran netralitas ASN terbanyak

24 Juni 2018 15:09 WIB
KPPOD: Kampanye medsos pelanggaran netralitas ASN terbanyak
Ilustrasi Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada). (kpu.go.id)

Pencabutan hak politik ini penting."

Jakarta (ANTARA News) - Hasil penelitian Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) di lima provinsi menunjukkan kampanye di media sosial (medsos) merupakan kasus pelanggaran netralitas terbanyak yang dilakukan Aparatur Sipil Negara (ASN) menjelang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) 2018.

"Jumlah kasus keterlibatan ASN terbanyak adalah kampanye medsos sebanyak 24 kasus, lalu ada juga 20 kasus ASN ikut deklarasi," ujar peneliti KPPOD Aisyah Nurul Jannah dalam paparan hasil penelitian KPPOD di Jakarta, Minggu.

Penelitian KPPOD dilakukan di lima provinsi, yakni Sumatera Selatan, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara berdasarkan pertimbangan Indeks Kerawanan Pemilu 2018 adanya politik dinasti dan adanya petahana.

Penelitian KPPOD itu dilakukan periode Februari--Juni 2018 dengan metode pengumpulan dan analisis data desk study, studi lapangan dan piranti lunak komputer analisis.

Aisyah mengatakan, selain kampanye medsos dan keikutsertaan dalam deklarasi pasangan calon, kasus lain terkait pelanggaran netralitas ASN hasil penelitian di lima provinsi itu, antara lain ikut kampanye, ikut sosialisasi, pemasangan alat peraga kampanye, hubungan dengan  partai politik (parpol), pengukuhan tim relawan, berfoto bersama, menjadi tim sukses, hadir dalam pendaftaran calon dan dalam pengundian nomor urut.

Dari lima provinsi yang menjadi obyek penelitian, menurut dia, kasus pelanggaran netralitas ASN terbanyak ada di Sulawesi Tenggara sebanyak 58 kasus dengan aktor terbanyak dilakukan ASN 33 kasus.

Selanjutnya, Maluku Utara 25 kasus, Jawa Barat empat kasus, Sumatera Selatan tiga kasus, dan Kalimantan Barat satu kasus.

KPPOD mencatat bahwa penyebab dan akar permasalahan terletak pada dua sektor, yaitu adanya sejumlah titik lemah kebijakan dan ada kendala implementasi kebijakan.

Ia mengemukakan, hal yang termasuk dalam sektor titik lemah kebijakan, antara lain otoritas kepala daerah sebagai pejabat pembina kepegawaian (PPK) mempengaruhi ASN dalam mengelola birokrasi, adanya surat edaran terkait netralitas ASN yang dikeluarkan Komite Aparatur Sipil Negara serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi saling bertentangan.

Selain itu, dicatatnya, tidak ada dasar hukum Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam mengawasi netralitas ASN dalam Pilkada 2018, sehingga makna netralitas ASN belum memiliki standar dan kriteria yang jelas.

Ia menjelaskan, adapun hal yang termasuk dalam kendala implementasi adalahrendahnya tingkat kesadaran pegawai dalam mematuhi peraturan netralitas, netralitas birokrasi dalam pilkada cenderung dilematis, pemberian sanksi tidak memberikan efek jera bagi ASN yang melanggar, hingga lemahnya penegakan hukum.

Direktur Eksekutif KPPOD Robert Endi Jaweng mengatakan pencabutan hak politik bagi ASN dapat menjadi salah upaya yang patut dipertimbangkan guna memperjelas aspek netralitas ASN.

"Pencabutan hak politik ini penting. Aparatur dan polisi memang tidak punya hak politik, tapi yang ASN agak sulit karena mereka diberi hak politik untuk memilih tapi dibatasi ekspresinya. Sehingga kalau diatur setengah-setengah begini dilemanya luar biasa," jelas dia.

Upaya lain, ditambahkannya, dapat dilakukan dengan mempertegas makna netralitas ASN.

Baca juga: Bawaslu pantau libur Lebaran ASN

Baca juga: Terindikasi memihak kandidat pilkada, dua ASN Bekasi jalani sidang etik netralitas


 

Pewarta: Rangga Pandu Asmara Jingga
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2018