• Beranda
  • Berita
  • HKTI: Indonesia masih fase terciptanya ketahanan pangan

HKTI: Indonesia masih fase terciptanya ketahanan pangan

28 Juni 2018 21:22 WIB
HKTI: Indonesia masih fase terciptanya ketahanan pangan
Arsip: Ketua Himpunan Kerukunan Petani Indonesia (HKTI) yang juga sebagai Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko memetik kopi Gunung Puntang di Desa Campaka Mulya, Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (29/5/2018). (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)
Jakarta (ANTARA News) - Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Moeldoko mengatakan hingga saat ini Indonesia masih berada pada tahap ketahanan pangan, belum mencapai fase swasembada pangan.

Moeldoko, dalam acara Agriculture and Food Forum (ASAFF) yang diselenggarakan HKTI, di JCC, Jakarta, Kamis, membeberkan sejumlah masalah yang kini dihadapai petani di Tanah Air, salah satu tantangan utama adalah kian sempitnya lahan yang dikelola.

"Rata-rata nasional lahan petani kita 0,2 sampai 0,3 hektare. Lahan yang kecil itu juga rusak karena penggunaan pestisida dan pupuk anorganik yang berlebihan," katanya.

Karenanya, lanjut dia, berbagai upaya harus terus dilakukan pemerintah guna menjamin ketersediaan dan pemerataan bahan pangan pokok bagi seluruh masyarakat.

Selain itu, kata Moedoko, pengelolaan paska panen menjadi tantangan, karena selama ini petani juga kehilangan hasil pertanian, sebanyak 10 persen kalau tidak dikelola dengan baik.

Penggunaan teknologi, kata Kepala Staf Kepresidenan ini juga masih belum terlalu menyentuh proses pengolahan lahan.

"Management. Petani tidak terbiasa dengan pendekatan management. Mereka business as usual. Ya sudah seperti itu saja`," ujar Kepala Staf Presiden yang mantan Panglima TNI ini.

Di sisi lain, permodalan juga masih menjadi kendala, walaupun pemerintah sudah hadir dalam berbagai program untuk membantu permodalan petani, tapi masih saja petani sulit mengakses perbankan. Ke depan, ini harus disolusikan.

"Kalau bicara ketahanan pangan, yang terpenting barangnya ada, masyarakat bisa menikmati, dan harganya cukup stabil. Kalau itu yang terjadi, maka stok pangan nasional tidak boleh kurang," terangnya.

Salah satu opsi untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan nasional, jika produksi dalam negeri tidak mampu mencapai targetnya adalah melakukan impor, namun demikian, keran impor tentunya juga harus dilakukan berdasar data yang akurat.

"Kita harus paham bahwa kebutuhan nasional itu 2, 4 juta ton dalam satu bulan. Berarti kalau tidak bisa memenuhi itu kita harus impor. Kalau tidak impor ada persoalan besar yang dihadapi bangsa ini. Karena persoalan perut adalah persoalan yang sangat sensitif yang tidak bisa ditunda," jelasnya.

Moeldoko yang juga bergelar doktor dalam Ilmu administrasi negara itu mengatakan, bahwasanya memang perlu dipahami perlunya impor untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional.

"Kebutuhan impor itu masih dibutuhkan Indonesia. Kita harus realistis ya," ungkapnya.

Moeldoko memahami keinginan Menteri Pertanian untuk menciptakan swasembada pangan, namun hal itu tentunya bukan sesuatu yang mudah untuk dicapai.

Terdapat sejumlah hal yang bisa menghambat tercapainya target itu, mulai dari cuaca, hama, dan faktor lainnya.

"Tidak seperti yang kita gambarkan bahwa pertanian begitu tanam langsung panen, tidak. Banyak sekali hambatannya," terang Moeldoko.

Sementara itu, Guru besar Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta Jangkung Handoyo Mulyo mengamini pernyataan Moeldoko.

Ia menyatakan persoalan Indonesia menuju swasembada pangan terkait ketersediaan lahan pertanian yang telah banyak beralih fungsi.

"Lahan ini konvensinya sudah sedemikian besar, peralihan dari lahan pertanian untuk pertanian menjadi bukan untuk lahan pertanian itu sudah begitu besar sangat masif sekali sehingga ini akan mengancam produksi domestik dan produksi dalam negeri untuk memenuhi kecukupan pangan Warga Indonesia," ujar Jangkung.

Dia juga mengungkapkan kecukupan produksi pangan di Indonesia mencapai 400.000 hektare per tahun.

Saat ini, Jangkung menyebutkan peraturan perlindungan lahan pertanian berkelanjutan sudah diatur undang-undang seperti regulasi lahan pertanian yang digunakan bukan untuk pertanian hingga sanksi pidana, namun belum diimplementasikan dengan baik.

Persoalan lainnya, menurut Jangkung, yakni pola konsumsi masyarakat Indonesia yang bergantung pada beras, padahal Indonesia berpotensi mendiversifikasi pangan lokal.

Anggota Komisi IV DPR, Zainut Tauhid di kesempatan terpisah, mengatakan, dari hasil penelitian Organisasi Pangan Dunia (FAO) tahun 2016, sebanyak 19,4 juta penduduk Indonesia diperkirakan masih mengalami kelaparan yang disebabkan utamanya adalah kemiskinan dan kelangkaan bahan makanan pokok.

"Jadi masih banyak penduduk Indonesia yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan mereka, khususnya di wilayah bagian timur Indonesia," katanya.

Oleh karena itu dia mendorong pemerintah untuk terus berupaya meningkatkan ketahanan pangan, terutama yang bersumber dari peningkatan produksi dalam negeri.

Hal ini dimaksudkan agar dapat berdampak pada peningkatan kesejahteraan para petani, katanya, menciptakan ketahanan pangan bukan hanya menjadi tugas dari Kementerian Pertanian.

Namun, lanjutnya, perlu sinergi antar kementerian terkait, salah satunya Kementerian PUPR untuk menghubungkan lahan pertanian ke pasar.

Pewarta: Joko Susilo
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018