Dalam pertemuan dengan pimpinan media massa di Jakarta, Selasa, dia mengatakan, Bank Indonesia terus melakukan stabilisasi dengan menerapkan intervensi ganda di pasar valas dan Surat Berharga Negara (SBN) untuk membendung keluarnya modal asing yang mendepresiasi kurs rupiah.
"Pelemahan rupiah yang sekarang ini masih terkendali, secara tahun berjalan juga terkendali sehingga tidak memerlukan kepanikan," ujar dia.
Wardijo mengatakan, Bank Sentral tidak hanya akan mengandalkan dampak dari pengetatan suku bunga acuan 7-Day Reverse Repo Rate yang baru saja dinaikkan 50 basis poin menjadi 5,25 persen pada 29 Juni 2018 lalu. Namun juga terus meningkatkan intervensi ganda di pasar valas dan SBN, seperti mengoptimalkan frekuensi lelang instrumen term repo guna memastikan ketersediaan likuiditas perbankan.
Dia yakin kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia masih akan ampuh untuk menarik kembali modal asing, termasuk ke pasar SBN dan membuat imbal hasil instrumen keuangan domestik menjadi kompetitif.
Perry menegaskan arah kebijakan moneter BI saat ini akan selalu antisipatif, selalu lebih dahulu dari tekanan yang timbul (front loading), dan lebih maju dibanding negara-negara peers (ahead of the curve).
"Misalnya kita mengacu dengan negara lain. Jika kita kemarin hanya menaikkan bunga acuan 25 basis poin, itu belum ahead of the curve. Maka itu kita naikkan 50 basis poin. Itu melalui proses yang panjang," ujar dia.
Pada Selasa siang ini, rupiah di pasar spot sempat diperdagangkan ke Rp14.450 per dolar Amerika Serikat. Namun pukul 15.00 WIB, rupiah kembali menguat ke Rp14.408 per dolar Amerika Serikat.
Kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dolar Rate yang diumumkan Bank Indonesia juga menunjukkan depresiasi rupiah ke Rp14.418 per dolar Amerika Serikat dibanding Senin (2/7) yang sebesar Rp14.331 per dolar Amerika Serikat.
Kalangan analis menyebut belum mempannya kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia untuk membendung pelemahan rupiah karena tekanan eksternal yang semakin kencang, salah satunya dari memanasnya perang dagang antara Amerika Serikat dan China.
"Pelaku pasar masih mencermati perkembangan dari potensi terjadinya perang dagang antara Amerika Serikat dan China," ujar Analis senior CSA Research Institute, Reza Priyambada
Di samping itu, data baru ekonomi domestik seperti inflasi Juni 2018 yang sebesar 0,59 persen (mtm) juga belum signfikan memberikan sentimen positif bagi pelaku pasar.
Pewarta: Indra Pribadi
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2018