Anggota KPU Kota Surabaya Nurul Amalia selaku pimpinan rapat pleno sempat menghentikan sementara rekapitulasi penghitungan suara karena adanya protes dari Sukadar, saksi pasangan nomor urut 2 Saifullah Yusuf (Gus Ipul) dan Puti Guntur Soekarno.
Sukadar meminta Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Tambaksari mengambil kotak suara untuk membuka formulir C7 di TPS 6, 7, dan 40 karena ada dugaan perbedaan jumlah surat suara di dalam kotak dengan jumlah pemilih yang mencoblos.
"Kami turuti saja meskipun sebenarnya kami juga sudah lelah," katanya.
Meskipun demikian, Nurul memastikan bahwa rekapitulasi penghitungan suara Pilgub Jatim di Surabaya akan tetap digelar sampai tuntas hingga Jumat (6/7) dini hari. "Tidak akan ada penundaan. Pokoknya lanjut," katanya bersemangat.
Sebetulnya, hujan protes tersebut sudah dilancarkan saksi pasangan calon nomor urut 2 sejak awal digelar rapat pleno rekapitulasi penghitungan suara untuk Kecamatan Sambikerep.
Saat itu, saksi pasangan calon nomor urut 2, Sukadar, meminta dibuka kembali formulir C1 di TPS 38 Kelurahan Lontar, Sambikerep karena adanya perbedaan perolehan suara antara data yang dimiliki dan rekapitulasi di tingkat kecamatan Sambikerep.
Menanggapi hal itu, Nurul mengatakan bahwa pihaknya sudah mengecek formulir C1 TPS 38 yang dibawa saksi pasangan calon nomor urut 2 dengan formulir C1 yang dimiliki KPU tidak ada masalah, termasuk juga dokumen DAA (hasil rekapitulasi suara tingkat kelurahan) dan DA1 (hasil rekapitulasi tingkat kecamatan) sama.
"Apa yang dipermasalahkan, ternyata ketemu entri data yang dilakukan saksi pasangan calon nomor urut 2 tidak sama. Mereka membuat entri sendiri tidak sama dengan hasil rekapitulasi KPU," katanya.
Menurut dia, semua dokumen yang dimiliki KPU Kota Surabaya resmi dilakukan secara berjenjang dari TPS sampai tingkat kecamatan. Rekapitulasi di tingkat kecamatan ketika ada selisih dari C1, saat itulah ada koreksi panitia pemilihan kecamatan (PPK).
Selain itu, Sukadar juga meminta KPU membacakan hasil penghitungan di TPS 1 s.d. 15 Kelurahan Pucang Sewu karena dinilai adanya pengurangan 27 suara bagi pasangan calon nomor urut 2. Namun, usai dibacakan hasil penghitungan di TPS 1 s.d. 15 ternyata ada kekeliruan penghitungan antara dokumen C1 dengan daftar pemilih tetap (DPT).
Dengan berakhirnya rekapitulasi penghitungan suara Pilgub Jatim untuk Kecamatan Tambaksari sekitar pukul 13.30 WIB, Jumat (6/7) dini hari, berakhir pula rekapitulasi di tingkat KPU Kota Surabaya.
Adapun untuk perolehan suara pasangan nomor urut 1 Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak meraih 579.246 suara, sementara pasangan calon nomor urut 2 Gus Ipul/Puti memperoleh 560.848 suara.
Total suara yang masuk, baik yang sah maupun tidak sah, untuk Kota Surabaya sebanyak 1.166.484 suara. Dari jumlah itu, sebanyak 1.140.094 suara dinyatakan sah, sedangkan 26.390 lainnya tidak sah.
Setelah penghitungan suara tingkat Kota Surabaya selesai, KPU setempat menyerahkan hasilnya ke KPU Provinsi Jawa Timur untuk dilakukan rekapitulasi pada tanggal 7 Juli 2018.
Tolak Tanda Tangan
Meskipun KPU Kota Surabaya telah menutup Rapat Pleno Rekapitulasi Penghitungan Suara Pilgub Jatim 2018 untuk Kota Surabaya selesai pada Jumat (6/7) dini hari, masih ada persoalan yang tersisa dari proses yang memakan waktu lebih dari 15 jam itu.
Hal ini dikarenakan Sukadar selaku saksi pasangan calon nomor urut 2 tetap menolak untuk menandatangani hasil rekapitulasi karena dianggap masih ada beberapa cacat administrasi yang terjadi selama pemungutan suara hingga rapat pleno rekapitulasi di tingkat kota.
Ketua Badan Saksi Nasional Pemilu (BSNP) DPC PDIP Surabaya ini mengatakan bahwa sesuai dengan Pasal 25 Huruf C 3 Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2018 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara di pilkada menyebutkan setiap masyarakat yang hadir harus membubuhkan tanda tangan.
"Akan tetapi, temuan yang didapatkan, ada satu TPS yang tidak ada sama sekali petugas KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) yang tanda tangan. Ada tanda tangan yang sama juga. Ini yang membuat saya tidak mau tanda tangan dan akan mengajukan keberatan," kata Sukadar yang biasa dipanggil Cak Kadar.
Adapun yang lebih fatal lagi, lanjut dia, ada daftar kehadiran yang tidak ditandatangani pemilih, tetapi justru ditandatangani oleh petugas KPPS di TPS 8 Tambaksari.
Hal ini secara otomatis menjadi pekerjaan rumah tersendiri untuk dibahas pada saat Rapat Pleno Rekapitulasi Penghitungan Suara Pilgub Jatim 2018 yang digelar KPU Jawa Timur pada hari Sabtu (7/7).
Selain itu, Sukadar yang juga Ketua Fraksi PDIP DPRD Surabaya ini juga menuding Panitia Pangawas Kota Surabaya tidak netral selama pelaksanaan Pilgub Jatim 2018 pada tanggal 27 Juni lalu.
"Panwas tidak netral, sejak awal sudah menganggap jika pasangan calon nomor urut 1 itu bersih dan pasangan calon nomor urut 2 tidak, bahkan dicurigai bakal berbuat kecurangan," katanya.
Menanggapi hal itu, Ketua Panwas Kota Surabaya Hadi Margo memandang perlu ada pembuktian jika panwas dianggap tidak netral selama pelaksanaan Pilgub Jatim di Surabaya.
"Jika yang dipersoalkan terkait dengan selisih suara saat rekapitulasi suara di Kecamatan Tambaksari bisa ditelusuri dan ditanyakan pada saat rekapitulasi," katanya.
Mengenai daftar kehadiran yang tidak ditandatangai pemilih, tetapi justru ditandatangani oleh petugas KPPS di TPS 8 Tambaksari, Hadi menyarankan agar hal itu ditanyakan kepada KPU Kota Surabaya.
"Itu lebih pada pemenuhan administrasi dari KPU Kota Surabaya," katanya.
Kekalahan Gus Ipul/Puti
Pengamat politik sekaligus CEO Initiative Institute Airlangga Pribadi Kusman menilai kemenangan pasangan Khofifah/Emil di Kota Surabaya karena warga lebih memilih figur.
Menurut Airlangga, semangat Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini pada saat kampanye untuk membantu pasangan Gus Ipul/Puti tidak berpengaruh karena warga sadar siapa pun yang menang Risma tetap jadi wali kota, bukan jadi gubernur.
Meski demikian, dosen Departemen Politik Universitas Airlangga ini menilai mesin partai politik pengusung bukan berarti tidak jalan dan tidak bekerja keras, melainkan Pilgub Jatim kali ini lebih memilih figur.
Selain itu, lanjut dia, berdasarkan data dari Kompas tidak semua partai pendukung Gus Ipul/Puti solid dalam memberikan dukungan. Hal ini dibuktikan dengan tidak ada yang mencapai angka 65 persen pendukung pasangannya.
Namun, hal itu bukan selalu berarti mesin partai pendukung Gus Ipul/Puti tidak jalan, melainkan kejelian membaca logika elektoral yang meleset. Popularitas dan elektabilitas Khofifah/Emil yang oleh warga hampir identik dengan figur Presiden RI Joko Widodo tidak menjadi pertimbangan elite partai untuk memilih.
Mengenai pernyataan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri yang akan memecat anggota yang tidak bekerja dalam memenangi pilkada di 171 daerah, Airlangga menilai itu cara Megawati untuk memberi semangat pada kadernya agar total memenangkan pasangan calon yang direkomendasi PDIP.
"Jadi, tidak perlu khawatir. Bu Mega `kan, ya, mikir loyalitas dan kerja keras kader sampai saat ini kuat," katanya.
Pewarta: Abdul Hakim
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018