• Beranda
  • Berita
  • Sistem zonasi "kegaduhan" jelang tahun ajaran baru

Sistem zonasi "kegaduhan" jelang tahun ajaran baru

14 Juli 2018 21:57 WIB
Sistem zonasi "kegaduhan" jelang tahun ajaran baru
Siswa melakukan daftar ulang pendaftaran peserta didik baru (PPDB) di SMA Negeri 3 Semarang, Jawa Tengah, Kamis (12/7/2018). (ANTARA FOTO/R. Rekotomo)
Jakarta (ANTARA News) - Ada kegaduhan dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) pada tahun ajaran 2018/2019. Siswa, orang tua, guru, kepala sekolah, masyarakat, dan dunia pendidikan di Tanah Air dibuat gaduh karena penerapan sistem zonasi pada penerimaan siswa baru di sekolah negeri.

Kegaduhan terjadi ketika orang tua dan siswa sekolah menengah atas (SMA) di sejumlah kota di Tanah Air dibuat panik, cemas, bahkan berbuat curang karena sistem zonasi yang diberlakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada penerimaan siswa baru tidak lagi didasarkan pada hasil ujian nasional (UN), tetapi jarak rumah dengan sekolah menjadi pertimbangan calon siswa untuk diterima.

Berbeda dengan sistem seleksi masuk ke jenjang lebih tinggi pada tahun sebelumnya yang mempergunakan sistem rayonisasi, pelaksanaan PPDB 2018 mengacu pada peraturan terbaru, yakni Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 yang mengatur penerimaan peserta didik baru (PPDB) lewat sistem zonasi.

Jarak tempat tinggal peserta didik dengan sekolah menjadi kriteria pertama penentuan dalam PPDB. Sekolah yang diselenggarakan pemerintah wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah.

Kebijakan sistem zonasi yang diatur dalam Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada jenjang Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas merupakan upaya pemerintah untuk memastikan bahwa pemerataan kualitas dunia pendidikan berjalan baik.

Penetapan sistem zonasi tersebut langsung mengundang pro dan kontra di kalangan masyarakat karena sekolah dengan label favorit faktanya memiliki nilai jual tinggi, bahkan dari tahun ke tahun sudah menjadi incaran para orang tua siswa yang rela berkorban dengan melakukan berbagai cara agar anaknya bisa lolos ke salah sekolah idaman tersebut.

Kebijakan sistem zonasi pada PPDB pada tahun ajaran 2018/2019 tentu saja mengejutkan sebagian orang tua siswa dan masyarakat yang dibuat "kecele" karena telah banyak membuang biaya untuk memasukkan anaknya ke lembaga bimbingan belajar yang paling populer dengan biaya tidak sedikit, memberikan les tambahan, hingga anak dibuat "mabuk" dengan latihan demi latihan soal agar meraih nilai tertinggi di kelas.

Belum lagi, tindakan tidak terpuji orang tua dan siswa dilakukan masif di sejumlah kota dan kabupaten yang memalsukan surat keterangan tidak mampu (SKTM) dengan memosisikan sebagai orang miskin. Tujuannya bukan untuk mendapatkan keringanan biaya karena SKTM palsu itu diperoleh siswa dari keluarga berkecukupan, melainkan SKTM ini dibuat agar anak bisa diterima bersekolah di tempat yang diinginkan.

Belum lagi, akun Instagram Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dalam beberapa waktu terakhir dibanjiri ribuan komentar berupa keluhan calon siswa dan orang tua terhadap penyelenggaraan Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) 2018. Umumnya calon siswa merasa cemas karena posisinya tergeser beberapa kali, ada siswa yang merasa kecewa karena NEM-nya yang tinggi dikalahkan oleh kawan dengan NEM rendah karena alasan jarak. Ada pula yang mengaku cemas kalau anaknya tidak diterima di sekolah negeri karena posisinya terus tergeser oleh calon siswa yang jarak rumahnya lebih dekat dengan sekolah.

Sistem zonasi mau tidak mau memaksa sekolah dengan label favorit untuk meninggalkan zona nyaman karena tidak dipungkiri bahwa selama ini siswa yang terseleksi masuk adalah siswa yang umumnya memiliki prestasi secara akademik dan peserta didik dengan kategori siap bersaing. Sementara itu, guru, kepala sekolah, dan tenaga kependidikan di sekolah dari waktu ke waktu terbiasa menghadapi siswa yang rata-rata memiliki prestasi baik dan aktif menerima model pembelajaran inovatif berbasis teknologi informasi yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Implementasi penerapan sistem zonasi dilatarbelakangi upaya menghilangkan dikotomi antara sekolah favorit dan sekolah nonfavorit. Selain itu, untuk mewujudkan standar nasional pendidikan yang sama di seluruh negeri sehingga mendorong pemerataan mutu antardaerah karena sebaran siswa yang berkualitas tidak hanya bertumpu pada sekolah yang dianggap favorit. Hal ini sekaligus mengubah pola pikir orang tua siswa yang rata-rata berambisi demi prestasi sekaligus gengsi.

Boleh jadi sistem zonasi menyebabkan banyak orang tua dan masyarakat kecewa. Namun, bila kebijakan zonasi ingin mengedepankan prinsip keadilan dengan membuka peluang yang sama kepada semua siswa dengan berbagai latar belakang ekonomi, sosial, dan akademis, siswa dengan prestasi rata-rata memiliki kesempatan duduk di bangku berlabel "favorit" untuk bersanding sama rasa dan sama rata.

PPDB berkeadilan

Kritik terkait dengan kebijakan sistem zonasi adalah ketergesa-gesaan dalam implementasi dan minim sosialisasi sehingga memicu penyalahgunaan SKTM demi diterima di sekolah yang dituju. Kondisi tersebut mengundang keprihatinan Lembaga Pendidikan Ma`arif NU yang meminta pemerintah untuk memastikan bahwa sistem zonasi PPDB dapat memberikan ketenangan kepada masyarakat serta keberlangsungan pendidikan peserta didik terjamin dengan menghilangkan praktik-praktik kecurangan demi menjaga karakter siswa.

Penyalahgunaan SKTM sebagai efek dari kebijakan zonasi mengundang keprihatinan Menteri Pendidikan dan kebudayaan Muhadjir Effendy. Namun, pemerintah meyakini sistem zonasi merupakan kebijakan berkeadilan untuk mewujudkan pemerataan pendidikan.

Kebijakan sistem zonasi adalah program afirmasi untuk melindungi peserta didik yang tidak mampu secara akademis dan ekonomis untuk diterima di sekolah-sekolah negeri yang berkualitas karena cara seleksinya tidak mendasarkan diri pada nilai ujian sekolah atau ujian nasional, tetapi berdasarkan jarak rumah peserta didik dengan sekolah.

Dengan sistem zonasi, sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah, termasuk pemerintah daerah, wajib memberikan kuota sebanyak 90 persen dari keseluruhan murid yang diterima untuk calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat. Hanya 10 persen sisanya yang boleh diberikan untuk siswa di luar daerah provinsi sekolah itu.

Beberapa tujuan dari sistem zonasi, di antaranya menjamin pemerataan akses layanan pendidikan bagi siswa; mendekatkan lingkungan sekolah dengan lingkungan keluarga; menghilangkan eksklusivitas dan diskriminasi di sekolah, khususnya sekolah negeri; membantu analisis perhitungan kebutuhan dan distribusi guru. Sistem zonasi juga diyakini dapat mendorong kreativitas pendidik dalam pembelajaran dengan kondisi siswa yang heterogen.

Kebijakan sistem zonasi pada penerimaan siswa baru, menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, merupakan upaya menghilangkan pola pikir kastanisasi dan favoritisme terhadap salah satu sekolah.

Lebih penting lagi, kebijakan zonasi menjadi salah satu wujud dari penerapan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), dengan kegiatan pembiasaan sikap dan perilaku positif di sekolah yang dimulai berjenjang mulai dari pendidikan dasar sampai dengan pendidikan menengah, yakni pembiasaan untuk menumbuhkan nilai-nilai beragam seperti nilai moral dan spiritualisme, kebangsaan, dan kebinekaan kepada peserta didik.

(T.Z003/D007)

Pewarta: Zita Meirina
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018