Namun, tentu saja sampai sekarang masih belum ada yang bisa menemukan rumus mujarab semacam itu untuk menentukan kesebelasan mana yang menang atau kalah.
Hal tersebut dapat disebut karena sepakbola adalah sebuah ajang yang dinamis yang memiliki banyak faktor untuk menentukan, mulai dari kekuatan tim, pemain, hingga cuaca atau ketinggian lokasi pertandingan juga dapat berpengaruh.
Ambil contoh timnas Bolivia, yang memainkan pertandingan mereka di Estadio Hernando Siles, yang memiliki ketinggian 3.637 meter di bawah permukaan laut, sehingga merupakan salah satu stadion tertinggi di dunia.
Sebagaimana diketahui, semakin tinggi suatu daerah maka semakin tipis kadar oksigen yang berada di udara, sehingga timnas yang bertandang ke Bolivia harus sangat beradaptasi dengan ketinggian tersebut.
Walhasil, pepatah "bola itu bundar" memang sedikit banyak berlaku, dan dapat dikatakan tidak ada satu rumus pasti di dunia yang bisa menentukan siapa yang akan berjaya.
Meski demikian, bila melihat hasil lima pertandingan final terakhir yang dimainkan di lima Piala Dunia terakhir, maka dapat disebutkan sejumlah fakta yang menarik.
Lima Piala Dunia terakhir ini berawal dari Piala Dunia tahun 1998 Prancis, yang juga merupakan ajang piala dunia pertama yang menampilkan sebanyak 32 timnas.
Sebelumnya pada periode tahun 1982 hingga 1994, tim yang bertarung di Piala Dunia adalah sebanyak 24 timnas, dan sebelum waktu itu biasanya adalah sebanyak 16 timnas.
Pada final 1998 Prancis mengalahkan Brasil 3-0, kemudian pada final 2002 Brasil menaklukkan Jerman 2-0, selanjutnya pada final 2006 Italia membungkam Prancis melalui adu pinalti setelah 1-1 pada waktu normal.
Delapan tahun lalu atau pada final 2010, Spanyol 1-0 berjaya atas Belanda, dan final terakhir pada 2014 menyuguhkan Jerman yang menggulung Argentina 1-0.
Apa yang menarik dari pertandingan lima final Piala Dunia tersebut?
Pencetak gol pertama
Fakta unik pertama dari lima final Piala Dunia terakhir adalah tim pertama yang mencetak gol dalam final, biasanya yang akan keluar menjadi juaranya.
Hal itu tentu saja tidak mengherankan karena dari lima final terakhir, ada empat laga di mana tim yang kalah tidak mencetak gol, yaitu Brasil (1998), Jerman (2002), Belanda (2010), dan Argentina (2014).
Hanya pada final 2006 di mana saat Italia mengalahkan Prancis, yang mencetak gol pertama adalah legenda Prancis, Zinedine Zidane pada menit ke-7, sebelum dibalas bek Italia, Materazzi pada menit ke-19.
Uniknya, kedua pemain ini juga yang saling berseteru pada babak perpanjangan waktu di mana Materazzi melontarkan hinaan terhadap keluarga Zidane yang mengakibatkan Zidane emosi dan menanduk Materazzi.
Walhasil, Zidane dikartumerahkan, dan Italia memenangkan laga itu dengan skor akhir 5-3 berdasarkan adu pinalti.
Fakta unik kedua adalah ternyata timnas yang memiliki ujung tombak lebih tua dibandingkan lawannya pada final piala Dunia, timnas tersebutlah yang biasanya akan keluar sebagai pemenang.
Misalnya pada final 1998, ujung tombak Prancis ketika itu, Stephane Guivarch (kelahiran 1970), lebih tua dibandingkan ujung tombak Brasil saat itu, Ronaldo (1976).
Kemudian pada final 2002, penyerang Ronaldo dari Brasil lebih tua dibandingkan dengan penyerang andalan Jerman kala itu, Miroslav Klose (1978).
Selanjutnya pada final 2006, striker Italia Luca Toni (kelahiran 26 Mei 1977) lebih tua dibandingkan dengan striker Prancis, Thierry Henry (kelahiran 17 Agustus 1977).
Pada Final 2010, bomber Spanyol David Villa (1981) lebih tua dibandingkan dengan bomber Belanda, Robin van Persie (1983), serta final terakhir menunjukkan penyerang utama Jerman, Klose, lebih tua dibandingkan dengan ujung tombak Argentina, Gonzalo Higuain (1987).
Unsur penyerang utama yang lebih matang sebagai faktor kemenangan mungkin bisa dijelaskan karena dengan pengalamannya yang lebih banyak, maka sang striker yang lebih tua lebih banyak memiliki trik dan keahlian yang lebih lama dikuasainya untuk mengelabui bek lawan dan mencetak gol ke gawang lawan.
Bagaimana halnya dengan final 2018? Pada pertandingan di Moskow nanti, tim Prancis mengandalkan bomber Olivier Giroud (30 September 1986) di lini depan, sedangkan tim Kroasia mengandalkan Mario Mandzukic (21 Mei 1986).
Dengan demikian apakah pada final Piala Dunia kali ini, Kroasia bisa dikatakan memiliki keunggulan dibandingkan Prancis karena Mandzukic lebih tua dibandingkan Giroud? ternyata hal itu juga belum tentu.
Faktor lebih muda
Fakta unik lainnya ternyata menunjukkan bahwa di sejumlah posisi tertentu, maka ternyata timnas yang memiliki pemain yang lebih muda di posisi tersebut biasanya akan lebih unggul dalam final.
Ambil contoh posisi bek sentral. Pada final 1998, bek tengah Prancis Thuram-Desailly memiliki rata-rata usia lebih muda dibandingkan bek tengah Brazil Aldair-Junior Baiano.
Begitu pula dengan final 2002, trio bek tengah Brasil Lucio-Edmilson-Roque Junior ternyata rata-rata usianya lebih muda dibandingkan dengan trio bek tengah Jerman saat itu, Metzelder-Ramelow-Linke.
Hal yang sama pada final 2006, duet bek Italia Materazzi-Cannavaro juga rata-rata lebih muda dibandingkan duet bek Prancis, Thuram-Gallas, serta pada final 2014, di mana duet Hummels-Boateng (Jerman) lebih muda dibandingkan duet Demichelis-Garay (Argentina).
Hanya pada final 2010, di mana duet lini belakang Spanyol, Pique-Puyol, rata-rata lebih tua dibandingkan duet lini belakang Belanda, Mathijsen-Heitinga.
Duet atau trio bek tengah yang lebih muda barangkali memiliki keunggulan dalam hal fisik dan stamina sehingga lebih mudah dalam merebut bola dari pemain lawan.
Fenomena serupa juga terjadi pada posisi kapten, di mana ternyata timnas yang usia kaptennya lebih muda biasanya akan memenangi laga. Misalnya pada 1998, kapten Prancis Didier Deschamps (kelahiran 1968) lebih muda dibandingkan dengan kapten Brasil, Dunga (1963).
Kemudian pada 2002, kapten Brasil Cafu (1970) lebih muda dibandingkan dengan kapten Jerman, Oliver Kahn (1969), sedangkan pada 2006 Cannavaro (1973) lebih muda dibandingkan Zidane (1972), serta pada 2010 Casillas (1981) lebih muda dibandingkan van Bronckhorst (1975).
Hanya pada final empat tahun lalu, di mana kapten Jerman, Phillip Lahm (1983), yang lebih tua dibandingkan dengan kapten timnas Argentina, Lionel Messi (1987), namun yang menang adalah tim Panzer dengan kapten yang lebih tua.
Menariknya pada final Piala Dunia kali ini, kapten tim Prancis Hugo Lloris (1986) memiliki usia lebih muda dibandingkan dengan usia kapten tim Kroasia, Luka Modric (1985).
Begitu pula halnya dengan duet bek sentral Prancis, yaitu Raphael Varane-Samuel Umtiti, yang ternyata memiliki rata-rata lebih muda dibandingkan dengan duet bek sentral Kroasia, Dejan Lovren-Domagoj Vida.
Dengan demikian, apakah berarti Prancis yang akan unggul pada tanggal 15 Juli ini? Belum tentu juga, karena bila melihat faktor striker yang lebih tua yang biasanya yang akan menang, maka keunggulan itu berarti dimiliki Kroasia.
Karena itu, memang bukanlah hal mudah untuk menebak siapa yang akan unggul dalam final Piala Dunia.
Namun, seluruh warga yang menikmati pertandingan bola yang berkualitas tentu saja boleh berharap bahwa final pada Minggu mendatang akan menyuguhkan laga yang menarik dengan gol yang banyak!
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018