Sang kepala suku, yang baru saja ditarik untuk dinobatkan dan didandani dengan jubah adat serta mahkota penuh bulu burung, melambaikan tangan dari atas singgasana, disambut sorak sorai penonton.
Kepala suku "cabutan" yang merupakan pengunjung asal Indonesia itu tampak masih takjub ketika kembali diturunkan dari panggulan dengan iringan tabuhan musik tradisional.
Atraksi tarian menyambut tamu suku-suku asli Pulau Formosa itu dipentaskan di Formosan Aboriginal Culture Village, sebuah museum luar ruang berupa taman replika kehidupan suku-suku di pedalaman Taiwan.
Bukan hanya tarian lincahnya yang khas, pakaian yang ramai dengan hiasan serta bulu-bulu binatang, tato badan, serta adat-istiadat mereka pun punya banyak kemiripan dengan kehidupan suku-suku di pedalaman Nusantara, seperti Suku Dayak di Kalimantan.
Dalam upaya penyembuhan misalnya, di sana juga ada dukun yang dianggap memiliki kekuatan untuk mengusir roh jahat dengan prosesi tertentu.
Di Formosa, juga ada suku yang membangun rumah panggung kayu bertopang kayu atau bambu seperti rumah tradisional suku-suku di pedalaman Nusantara.
Selain itu, pada masa lalu suku-suku asli Pulau Formosa memiliki kebiasaan memajang tengkorak kepala musuh yang dipenggal dalam perang seperti halnya orang suku Dayak tertentu di Kalimantan bagian utara.
Di rak-rak batu dekat rumah kepala Suku Paiwan sekarang di taman seluas 62 hektare di kawasan Nantou, Taiwan, ada deretan tengkorak yang terpajang, namun hanya replika.
Keserupaan
Menurut Manajer Departemen Perencanaan Desa Budaya Asli Formosa, Richard Huang, saat ini ada 16 suku asli yang telah diakui oleh Pemerintah Taiwan, yakni Suku Amis, Atayal, Bunun, Hla`alua, Kanakanavu, Kavalan, Paiwan, Puyuma, Rukai, Saisiyat, Tao, Thao, Tsou, Truku, Sakizaya dan Sediq.
"Tigapuluh tahun lalu hanya diketahui ada sembilan suku asli. Tapi sekarang sudah ada 16. Sebentar lagi akan jadi 18, karena mereka ingin independen diakui pemerintah sebagai suku tersendiri," katanya.
Jumlah penduduk asli Formosa antara 400 ribu sampai 500 ribu orang dari total jumlah penduduk Taiwan yang 23 juta jiwa, dan diperkirakan telah mendiami pulau tersebut sejak 10 ribu tahun lalu, sebelum kedatangan bangsa Han dari China daratan baru pada abad ke-16.
Suku-suku ini kebanyakan mendiami Taiwan bagian timur dari utara ke selatan. Sebagian tinggal di dataran rendah dan sebagian lagi lebih terpencil di dataran tinggi.
Menurut Huang, suku-suku asli Pulau Formosa hingga kini tidak banyak bercampur dengan bangsa yang datang dari daratan Tiongkok, dan justru termasuk dalam suku-suku berbahasa Austronesia.
Bahasa Austronesia secara garis besar dituturkan oleh bangsa-bangsa di kepulauan Asia Tenggara seperti Indonesia, Thailand selatan, Kamboja, Malaysia, Brunei, Filipina, hingga ke Kepulauan Mikronesia di Pasifik. Bahasa ini jauh berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh umumnya bangsa Taiwan dan China daratan.
Sang pemandu wisata yang biasa disapa Lu dan berasal dari suku Amis menyebut bahwa bahasa-bahasa suku asli di Pulau Formosa sebagai cikal-bakal Bahasa Austronesia.
"Dari Formosa ini menyebar ke Filipina, ke Borneo dan seterusnya ke selatan dan ada yang menyebar ke arah timur di Pasifik," kata perempuan berkulit kuning langsat itu.
Ia lantas menyebut beberapa kata dalam bahasa asli orang Formosa yang sama atau mirip dengan bahasa bangsa Melayu, misalnya "mata" yang artinya adalah mata dalam Bahasa Melayu, dan "tagila" untuk telinga.
Lu juga menuturkan kemiripan dalam penyebutan angka. Dalam bahasa Suku Amis (suku asli Taiwan dengan jumlah terbanyak), angka satu sampai sepuluh berturut-turut disebut sicey, tosa, tolo, sepat, lima, enem, pito, valo, siwa, dan poloh.
Sementara Suku Atayal menyebutnya kingan, taha, telo, sepat, lima, matalu, putu, mesepat, mengali, dan maksen, serta Paiwan menyebutnya ita, dusa, chelu, sepat, lima, unem, picu, alu, siva, dan puluk.
Penyebutan itu menunjukkan kemiripan dengan penyebutan angka dalam Bahasa Dayak dan Jawa. Dalam Bahasa Dayak di Kalimantan Tengah angka satu sampai sepuluh berturut-turut disebut ije, dua, tilu, epat, lime, jahawen, uju, hanya, dan sepulu. Dan dalam Bahasa Jawa disebut siji, loro, telu, papat, limo, enem, pitu, wolu, songo, sepuluh.
Satu Keturunan
Kemiripan bahasa-bahasa di wilayah Asia Pasifik sudah lama diamati oleh para pakar, termasuk arkeolog Harry Truman Simanjuntak yang menyebut rumpun bahasa Austronesia meliputi 1.200 bahasa dan dituturkan oleh hampir 300 juta penduduk.
Penggunaan bahasa dalam rumpun ini meliputi lebih dari separuh bola Bumi, dari Madagaskar di barat hingga Pulau Paskah di ujung timur, dari Taiwan-Mikronesia di utara hingga Selandia Baru di selatan, dan sebagian besar memang dituturkan oleh suku-suku bangsa yang ada di Nusantara.
Studi genetik Human Genome Organization (Hugo), menurut pakar genom dari Lembaga Eijkman Sangkot Marzuki, juga menunjukkan bahwa bangsa-bangsa di Asia Tenggara hingga ke Asia Pasifik bagian utara memang memiliki keterkaitan genetik.
Namun orang-orang di Asia Tenggara memiliki keanekaragaman genetik yang lebih tinggi dibanding bangsa-bangsa Asia di utaranya, sehingga bisa disimpulkan bahwa bangsa-bangsa di selatan, seperti suku-suku di Sumatera dan Jawa, lebih dulu ada dan kemudian menyebar ke timur dan utara, termasuk ke Pulau Formosa.
Nenek-moyang bangsa-bangsa Asia yang keluar dari Afrika Timur sekitar 100.000 tahun lalu itu menyusuri sepanjang pesisir selatan melalui India selatan ke arah timur dan lebih dulu berpusat di Asia Tenggara sekitar 60.000 tahun lalu.
"Kita ini bersaudara, nenek moyang kita sama," kata Lu sambil memeluk satu-satu para pengunjung dari Indonesia.
Pewarta: Dewanti Lestari
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018