Sebelumnya, beredar kabar adanya pembayaran dana miliaran rupiah dari partai politik terhadap kader partai lain agar bersedia pindah partai, kemudian menjadi calon legislatifnya.
Isu yang dikenal sebagai transfer caleg ini dinilai Partai Persatuan Pembangunan (PPP) berpotensi menjadi kasus gratifikasi sehingga PPP meminta caleg yang menerima dana itu melaporkan ke KPK.
"Kalau yang dimaksud transfer caleg seperti itu, ya, berbahaya. Itu `kan contoh bentuk lain dari praktik politik uang. Artinya, menggunakan uang untuk mencari kekuasaan," kata Teguh Yuwono.
Ia menegaskan bahwa KPK dan Bawaslu RI harus turun tangan jika terjadi seperti itu. Pasalnya, transfer caleg tersebut akan merendahkan etika politik bangsa ini.
"Bagaimana mungkin misalnya pemimpin menghalalkan semua cara untuk menjadi pemimpin. Itu akhirnya pragmatis," katanya.
Ketika menjadi anggota dewan, katanya lagi, kemungkinan yang bersangkutan akan berupaya mengembalikan uang transfer. Hal ini mengingat caleg terlilit beban ekonomi keuangan itu.
"Itu saya kira menjadi masalah," kata alumnus Flinders University Australia itu.
Teguh menekankan bahwa pencalegan dengan model transfer caleg itu jelas tidak hanya merusak integritas, tetapi juga merusak masa depan demokrasi Indonesia.
Pasalnya, lanjut dia. Demokrasi harus diikuti dua hal, yakni pertama penguatan nilai-nilai demokratis dan kedua penguatan etik masyarakat.
"Dengan demikian, siapa pun yang ingin mencapai atau mencari kekuasaan harus berbasis etika," kata Teguh.
Berita sebelumnya, Jumat (20/7), peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan bahwa partai politik maupun calon anggota legislatif yang terlibat dalam transfer caleg tidak akan peduli terhadap kepentingan rakyat.
"Baik partai maupun caleg yang terlibat transfer caleg akan sangat sulit bekerja untuk kepentingan rakyat. Semua tindakan dan sikap politiknya akan ditentukan oleh seberapa menguntungkan keputusan atau sikapnya itu untuk dirinya sendiri," kata Lucius Karus di Jakarta.
Pewarta: Kliwon
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018