Surabaya (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah mencanangkan Indonesia Layak Anak (Idola) 2030 sebagai sasaran antara untuk mewujudkan Generasi Emas 2045.Anak dikawinkan akhirnya akan putus sekolah. Anak memiliki anak, tentu perlu bekerja untuk menghidupi anaknya. Yang terjadi kemudian adalah pekerja anak
Untuk mewujudkan Idola 2030, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah merintis program Kabupaten/Kota Layak Anak, yang bersifat dari bawah ke atas, mulai dari Desa/Kelurahan Layak Anak dan Kecamatan Layak Anak.
Program Kabupaten/Kota Layak Anak memiliki 24 indikator yang intinya merupakan upaya-upaya perlindungan anak dan memberikan kepentingan terbaik anak berdasarkan Konvensi Hak Anak.
Namun, permasalahan-permasalahan yang terjadi dan dihadapi anak-anak Indonesia masih terus menjadi ancaman bagi pencapaian Idola 2030, salah satunya permasalahan perkawinan anak.
Perkawinan anak masih saja terjadi di berbagai daerah, yang pemberitaannya menjadi perhatian masyarakat. Peristiwa terakhir yang sempat diberitakan media terjadi di Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan.
Perkawinan tersebut terjadi antara seorang bocah laki-laki berusia 14 tahun dengan seorang bocah perempuan berusia 15 tahun. Perkawinan tersebut dilakukan secara siri dan tidak didaftarkan ke Kantor Urusan Agama (KUA) setempat.
Sebelumnya, masyarakat juga sempat digegerkan dengan pemberitaan di media massa tentang perkawinan dua pelajar SMP di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan.
Perkawinan dini itu dilakukan karena si bocah perempuan disebut-sebut takut tidur sendiri lantaran sudah tidak memiliki ibu, sedangkan bapaknya kerap keluar kota untuk bekerja.
Perkawinan dua bocah itu kemudian ditolak oleh KUA setempat, meskipun sempat mendapatkan dispensasi atau izin dari pengadilan agama.
Council of Foreign Relations mencatat Indonesia merupakan peringkat tujuh dari 10 negara dengan angka absolut pengantin anak tertinggi di dunia dan merupakan yang tertinggi kedua di Asia Tenggara setelah Kamboja.
Padahal, perkawinan dini jelas menimbulkan permasalahan bagi anak-anak. Selain itu, perkawinan dini merupakan salah satu pelanggaran hak anak.
Menurut penelitian yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2016, tercatat 94,72 persen perempuan usia 20 tahun hingga 24 tahun berstatus pernah kawin yang melakukan perkawinan di bawah usia 18 tahun putus sekolah, sementara yang masih bersekolah hanya sebesar 4,38 persen.
Baca juga: Kasus pernikahan dini di Kabupaten Bekasi masih tinggi
Dampak panjang
Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Lenny N Rosalin mengatakan perkawinan dini memiliki dampak yang panjang bagi anak, yang pada ujungnya akan melestarikan kemiskinan.
"Anak dikawinkan akhirnya akan putus sekolah. Anak memiliki anak, tentu perlu bekerja untuk menghidupi anaknya. Yang terjadi kemudian adalah pekerja anak," kata dia.
Oleh karena putus sekolah dan tidak memiliki pendidikan tinggi, akhirnya anak tersebut bekerja apa adanya. Dampaknya, anak tersebut tidak mendapatkan upah yang layak sehingga akhirnya akan hidup dalam kemiskinan.
Pemerintah sudah memiliki komitmen untuk melindungi anak-anak Indonesia. Selain meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.
"Konvensi Hak Anak dan Undang-Undang Perlindungan Anak mengharuskan negara memberikan kepentingan terbaik bagi anak-anak. Perkawinan bukanlah kepentingan terbaik bagi anak," tuturnya.
Oleh karena itu, perkawinan anak harus dicegah.
Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda, dan Olahraga Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Lisa Woro Srihastuti Sulistianingrum mengatakan pencegahan perkawinan anak harus dilakukan secara menyeluruh dan terpadu.
"Upaya pencegahan perkawinan anak harus dilakukan secara holistik, integratif, tematik, dan spasial. Harus melibatkan banyak pihak karena pemerintah tidak bisa bekerja sendiri," kata dia.
Sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG`s), semua negara diminta untuk mencegah dan menghentikan seluruh praktik yang berbahaya bagi anak.
Perkawinan anak merupakan ancaman bagi masa depan anak, sehingga perlu dicegah.
Pemerintah, melalui banyak kementerian dan lembaga telah melakukan banyak upaya untuk mencegah perkawinan anak.
"Kami perlu menyusun strategi nasional pencegahan perkawinan anak. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sudah membuat kajiannya. Paling tidak memiliki strategi dulu, baru diturunkan dalam rencana aksi," tuturnya.
Sebagai bentuk komitmen negara, selain ratifikasi Konvensi Hak Anak dan Undang-Undang Perlindungan Anak, perlindungan anak juga sudah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2020.
Baca juga: Larangan nikah di bawah umur harus dipertegas
Pengadilan agama
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti mengatakan pengadilan agama merupakan benteng terakhir untuk mencegah perkawinan anak.
"Karena perkawinan di bawah umur harus mendapatkan izin atau dispensasi dari pengadilan agama, pengadilan agama jangan mudah memberikan izin," kata dia.
Pengadilan agama dan KUA, ucap dia, memang memiliki ranah yang berbeda. Pengadilan agama merupakan bagian dari yudikatif, sedangkan KUA yang berada di bawah Kementerian Agama merupakan eksekutif.
Bila pengadilan agama sudah mengizinkan dua anak menikah, KUA tidak boleh menolak untuk menikahkan mereka.
Untuk mencegah perkawinan anak kembali terulang, KPAI mendorong pendewasaan usia minimal perkawinan karena peningkatan kualitas sumber daya manusia akan bisa dicapai bila pernikahan tidak dilakukan pada usia yang terlalu muda.
Pihaknya mendorong usia perkawinan ditingkatkan dari sebelumnya perempuan 16 tahun menjadi 18 tahun, sedangkan laki-laki dari 18 tahun menjadi 21 tahun.
Oleh karena itu, KPAI mendukung DPR untuk merevisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Menurut Retno, usia minimal perkawinan yang diatur dalam undang-undang itu sudah tidak relevan dengan kondisi terkini.
"Sejak 1974 itu sudah lama sekali. Memang perlu direvisi. Mungkin dulu orang tua kita menikah di usia muda masih relevan. Namun, di era sekarang sudah tidak lagi relevan," tuturnya.
Retno mengatakan perkawinan anak merupakan pelanggaran hak-hak anak. Perkawinan anak, apalagi anak dengan anak, juga kerap menimbulkan permasalahan.
"Bila anak kawin dengan anak, nanti secara ekonomi bagaimana. Perkawinan itu seharusnya bukan sekadar cinta, bukan sekadar ada teman tidur. Tujuan perkawinan lebih mulia dari itu," katanya.
Baca juga: KPPAI menyebut mayoritas pernikahan dini karena kasus asusila
Baca juga: KPAI dorong pendewasaan minimal usia kawin
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2018