Bangsa Indonesia dibangun di atas dasar kebhinnekaan, katanya melalui siaran pers di Jakarta, Selasa.
Upaya mengembangkan sikap terbuka pada generasi muda diwujudkan dengan pelaksanaan Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan yang digagas oleh Maarif Institute.
Ia berharap Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan mampu melahirkan kader penjaga keutuhan bangsa, penjaga nilai-nilai kemanusiaan yang memiliki sikap toleran, moderat serta berpihak pada kemanusiaan dan ke-Indonesiaan yang bhinneka.
Menurut dia, kebhinnekaan dan perbedaan menjadi modal utama untuk persatuan bangsa ini.
"Mari kita bicara perbedaan. Tapi jangan rusak perumahan kemanusiaan dan rumah kebangsaan. Ini artinya semangat perbedaan harus mampu menyatukan dan mengutuhkan bangsa ini," tambahnya.
Pemuda diharapkan bersikap inklusif dan memberi solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa. Selain itu, antar elemen kebangsaan dan kemanusiaan harus ditanamkan budaya berlomba dalam kebaikan.
Ia menyebutkan Al-Quran sesungguhnya memberikan solusi dalam mengelola perbedaan sehingga terwujud kebaikan.
Ketika Islam diaplikasikan dalam konteks keindonesiaan maka akan memunculkan sebuah Islam yang ramah, terbuka, inklusif, dan mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa. Islam membutuhkan sarana sejarah untuk mewujudkan cita-cita moralnya yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Sarana itu tidak lain adalah negara, katanya.
Maarif Institute mengadakan Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan selama 10 hari sejak 22 Juli hingga 1 Agustus 2018 di Bogor, Jawa Barat.
Kegiatan sekolah itu untuk mewadahi kader-kader muda intelektual yang bisa melanjutkan estafet pemikiran pendiri Maarif Institute, Syafii Maarif.
Baca juga: Syafii Maarif: agama bukan untuk kepentingan pragmatisme
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2018