Muhamad Muslih, Koordinator Konservasi Program WCS-IP, di Lampung Timur, Rabu, menjelaskan warga yang tinggal di desa penyangga sekitar hutan TNWK itu juga dibekali pengetahuan untuk memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam di sekitar kawasan hutan.
Sejumlah warga itu berasal dari Desa Taman Fajar, Rantau Jaya Udik II, Labuhan Ratu IX, Labuhanratu VI, Labuhan Ratu VII, dan Braja Kencana.
Mereka adalah keterwakilan dari kelompok tani, kelompok wanita tani, kelompok ternak, kelompok karang taruna, kelompok nelayan, kelompok perempuan, dan unsur pemerintahan desa pada enam desa tersebut.
Pelatihan berlangsung tiga hari di Balai Desa Braja Kencana, Kecamatan Braja Selebah, Way Jepara, Lampung Timur mulai Selasa (24/7) sampai dengan Kamis (26/7).
Muslih mengatakan masyarakat di sekitar kawasan hutan Way Kambas rentan berkonflik dengan satwa gajah liar akibat perebutan lahan pangan, mengingat kawanan gajah liar seringkali keluar hutan mencari makan di kebun atau areal pertanian warga.
Muslih mengungkapkan konflik gajah dan manusia itu sudah berlangsung lama dan berdampak kerugian pada kedua belah pihak.
Sehubungan itu, WCS-IP mengadakan pelatihan tersebut dengan tujuan mendorong kapasitas masyarakat dalam penanganan konflik.
"Pelatihan ini penting karena kelestarian satwa itu datang dari masyarakat desa sekitar karena masyarakat terdekat lah yang akan bisa membantu menyelesaikan konflik manusia dengan gajah, WCS-IP hanya membantu dan menjembatani saja," ujar Muslih.
Tujuan pelatihan itu juga merangsang kelompok-kelompok warga di desa menciptakan inovasi usaha yang bisa dikembangkan di sekitar kawasan hutan, di antaranya masyarakat didorong dapat memanfaatkan kanal-kanal penghalang gajah sebagai tempat usaha budi daya ikan.
"Jadi masyarakat tidak hanya didorong berusaha produktif, tapi juga diajak bersama-sama menjaga gajah," ujarnya lagi.
Narasumber pelatihan tersebut adalah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Kabupaten Lampung Timur, Balai Taman Nasional Way Kambas, dan WCS-IP.
Kepala Balai TNWK Ir Subakir menyebutkan sebanyak 37 desa berbatasan langsung dengan hutan Way Kambas. Sementara jumlah petugas hutan Way Kambas atau polisi hutan hanya sebanyak 40 orang, sehingga pihaknya kesulitan mengawasi dan menangani manakala terjadi konflik antara manusia dengan gajah. Begitu pula manakala terjadi kebakaran hutan dan perburuan satwa.
Ia menyambut baik pelatihan oleh WCS-IP karena mendorong warga ikut berperan menjaga keamanan dan kelestarian hutan TNWK. "Menjaga hutan TNWK tidak bisa dikerjakan sendiri. Tanpa masyarakat dilibatkan tidak akan efektif," ujar Subakir.
Kepala Dinas PMD Kabupaten Lampung Timur Sahrul Syah menyatakan sejumlah pemerintah desa penyangga hutan Way Kambas akan ikut berperan menciptakan usaha-usaha berbasis konservasi melalui badan usaha milik desa atau bumdes.
Contoh peran usaha berbasis konservasi yang bisa dilakukan di antaranya pengolahan limbah hutan, penyediaan bibit tanaman peremajaan hutan dan pengembangan destinasi wisata penyangga objek wisata TNWK.
"Pemerintah desa akan segera didorong agar desa ikut berperan mendukung konservasi berbasis usaha di hutan Way Kambas," ujar Sahrul Syah.
Pewarta: Budisantoso Budiman & Muklasin
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2018