"Inti dari mengatasi kebakaran hutan dan lahan adalah penegakan hukum yang harus tegas dan tak pandang bulu. Sebab 99 persen penyebab kebakaran hutan dan lahan adalah disengaja atau dibakar," kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB Sutopo Purwo Nugroho saat dihubungi Antara di Jakarta, Rabu.
Sutopo menuturkan harus ada efek jera, baik sanksi pidana, perdata, dan administrasi bagi para pelaku yang bersifat perseorangan, kelompok maupun perusahaan yang melakukan pembakaran hutan dan atau lahan.
"Kalau perlu cabut izin dan sertifikatnya," ujarnya.
Dia mengatakan penanganan kebakaran hutan dan lahan tentu menghabiskan biaya, yang sebenarnya biaya itu dapat dialihkan untuk penanganan bencana lain, jika saja semua pihak bertanggung jawab untuk tidak menyebabkan kebakaran hutan dan lahan.
"Jika tidak maka setiap tahun akan berulang seperti ini. Energi kita habis untuk menangani yang rutin terjadi. Padahal pencegahan bisa dilakukan. Pencegahan lebih efektif daripada pemadaman. Apalagi di lahan gambut, jika sudah terbakar susah dipadamkan," tuturnya.
Sutopo mengatakan anggaran dana cadangan penanggulangan bencana sangat terbatas sehingga akan lebih bermanfaat jika digunakan untuk mitigasi bencana lain, seperti meletusnya gunung api, gempa, tsunami, banjir.
Apalagi, personel untuk penanggulangan dan pemadaman kebakaran hutan dan lahan juga terbatas.
"Meski TNI dan Polri digerakkan semua, ternyata dukungan dana operasional personel juga sangat terbatas," tuturnya.
Sebagai perbandingan, Sutopo mengatakan pemadaman kebakaran hutan dan lahan di Amerika dan Australia yang terjadi setiap tahun dilakukan dengan pengerahan ratusan helikopter dan pesawat pembom air.
Sementara di Indonesia, hanya ada 21 helikopter dikerahkan untuk kawasan Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, yang mana 17 helikopter dari BNPB, dua dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan dua dari swasta.
"Kami tidak punya (ratusan helikopter). Kami hanya menyewa swasta. Itu pun seringkali tidak tersedia sehingga perlu prosedur waktu lama," ujarnya.
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018