"Pasalnya, esensi dari pasar karbon adalah memungkinkan mitigasi perubahan iklim dengan biaya rendah, dan itu dibutuhkan untuk mencapai target kontribusi Nasional yang diniatkan atau NDC Indonesia. Salah satu kebijakan yang bisa memicu pasar karbon domestik adalah penerapan pembatasan emisi," kata Samyanugraha di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, secara global saat ini ada 51 pasar karbon domestik dimana 49 diantaranya merupakan pasar karbon mandatori.
Secara global, ada tahun 2017, pasar karbon mandatori mencakup 11 Giga ton setara CO2 dengan nilai mencapai 82 miliar dolar AS. Sementara pasar karbon yang tidak didasarkan kewajiban penurunan emisi hanya memproduksi penurunan emisi 63,4 miliar ton setara CO2 dengan nilai pasar 191 juta dolar AS pada tahun 2016.
Dia mengungkapkan, telah ada sejumlah proyek rendah karbon yang didukung oleh instrumen berbasis pasar, diantaranya adalah 47 proyek Clean Development Mechanism (CDM) senilai 1 miliar dolar AS dengan kredit karbon setara 32 juta ton CO2. Selain itu ada juga 29 proyek yang terdaftar dalam joint credit mechanism (JCM) senilai 129 juta dolar AS.
"Pasar karbon bisa mendorong investasi rendah karbon di Indonesia," katanya.
Baca juga: Kemenko Kemaritiman: Indonesia berpotensi kembangkan karbon biru
Samyanugraha melanjutkan, harga kredit karbon yang cukup menarik akan mendorong investasi proyek rendah karbon, contohnya ketika pasar karbon mandatori seperti diatur berdasarkan Protokol Kyoto masih bergairah.
Berdasarkan Protokol Kyoto, negara-negara maju memiliki kewajiban (mandatori) untuk menurunkan emisi GRK. Sebagian dari kewajiban ini bisa dipenuhi dengan memberikan insentif untuk penurunan emisi di negara berkembang, dan ini adalah dasar pembentukan dari CDM.
Ketika periode pertama Protokol Kyoto berakhir pada tahun 2012, harga kredit jatuh dan pasar karbon internasional melambat.
Sebelumnya Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ruandha A Sugardiman menyatakan pasar karbon bisa menjadi insentif untuk mencapai penurunan emisi GRK Indonesia.
"Kalau hanya mengandalkan dana sendiri tidak akan cukup," katanya saat diskusi Pojok Iklim di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Dalam dokumen kontribusi Nasional yang diniatkan (Nationally Determined Contribution/NDC) terkait Persetujuan Paris, Indonesia punya komitmen ambisius untuk menurunkan emisi GRK sebesar 29 persen di bawah tingkat bussiness as usual (BAU) pada tahun 2030.
Sektor kehutanan dan energi menjadi penyumbang terbesar dalam pencapaian target tersebut masing-masing dengan 17 persen dan 11 persen.
Baca juga: Indonesia butuh konsep dan riset karbon biru
Asisten Utusan Khusus Presiden bidang Pengendalian Perubahan Iklim Moekti H Soejachmoen menyatakan, meski Protokol Kyoto kini telah digantikan dengan Persetujuan Paris, namun instrumen berbasis pasar untuk mendorong penurunan emisi GRK tetap terbuka.
"Instrumen berbasis pasar menjadi bagian dari pendekatan kerja sama pada Persetujuan Paris dan sedang dibahas dalam lembaga di bawah UNFCCC (Konvensi Kerangka Kerja PBBB untuk Perubahan Iklim)," katanya.
Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sarwono Kusumaatmadja menyatakan Indonesia sejatinya telah memiliki payung hukum bagi penerapan instrumen berbasis pasar lewat Peraturan Pemerintah No 46 tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup.
Dia juga mengingatkan, mekanisme pasar karbon jangan sampai menjadi ajang white washing, dimana investor yang membeli karbon kredit adalah mereka yang sebelumnya melakukan praktik high carbon economy.
Pewarta: Subagyo
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2018