"Pembentukan negara Indonesia tidak dapat terlepas dari peran Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Kita berupaya untuk terus menemukan dan menggali naskah-naskah bersejarah tentang peristiwa itu," kata Hilmar saat memberikan pidato kunci pada Seminar Kesejarahan Hubungan Indonesia-Jepang Dalam Lintasan Sejarah dalam rangka memperingati Hari Kebangkitan Nasional ke-110 yang digelar di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, hubungan antara Indonesia dan Jepang tidak hanya memiliki nilai sejarah, tapi juga etika yang tampak bersebarangan namun menarik untuk dikaji oleh para ahli sejarah, cendekiawan dan juga politisi.
Hilmar menjelaskan bahwa ketika Jepang masuk ke Indonesia pada 1942, para pemimpin politik dan militer negeri matahari tersebut membawa misi untuk membebaskan Indonesia dari kolonialisme Belanda.
"Lagu kebangasaan Indonesia Raya dengan tiga stanza (bait) dan Bahasa Indonesia ditetapkan di masa Jepang untuk menghapus pengaruh dan Bahasa Belanda di tengah masyarakat. Maka, apakah beretika ketika kita menuntut pampasan perang dari Jepang," kata dia.
Baca juga: Presiden rekam aksi bersama Paskibraka
Dia mengatakan pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dimunculkan oleh para ahli sejarah, dan merupakan tugas para politisi dan cendikiawan untuk menyuguhkan jawaban yang diperkuat dengan bukti-bukti bersejarah guna memperkaya wawasan masyarakat sekarang ini.
"Mempertanyakan aspek etika, legal formal di satu sisi dan tuntutan pampasan perang dari Jepang di sisi lain bisa menjadi debat publik yang bermutu selama bukti-bukti sejarah disediakan sebagai dasar perdebatan," kata Hilmar.
Salah satu upaya strategis yang saat ini dilakukan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan dalam membangun kerja sama bidang budaya dengan Kedutaan Besar Jepang di Jakarta adalah pengarsipan warisan budaya dengan membangun sistem kebudayaan terpadu.
Kerja sama tersebut, kata Hilmar, adalah upaya dalam menjalankan amanat Undang Undang No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Selain seminar dengan tema "Hubungan Indonesia - Jepang Dalam Lintasan Sejarah", peringatan 110 tahun Kebangkitan Nasional juga diperingati dengan pameran foto, sketsa dan poster yang dibuat pada masa pendudukan Jepang di Indonesia.
Sebuah buku yang merefleksikan sejarah hubungan Indonesia dan Jepang dari masa ke masa berjudul "Jagung Berbunga di antara Bedil dan Sakura" juga diluncurkan pada kesempatan tersebut.
Buku tersebut diterbitkan atas kerja sama Perpustakaan Nasional RI, Arsip Nasional RI, dan Kantor Berita Antara yang menyediakan berbagai bahan penting dan bersejarah dalam publikasi tersebut.
Menurut Kurator Galeri Foto Jurnalistik Antara, Oscar Motuloh, pameran dan penerbitan buku "Jagung Berbunga di antara Bedil dan Sakura" menelisik secara visual bagaimana propaganda para politisi, budayawan, seniman dan perupa dalam menggerakkan tujuan.
"Beberapa karya penting semasa era pendudukan Jepang ditampilkan dalam bentuk asli dalam pameran ini. Kita dapat menyimak poster propaganda, juga mengamati sampul muka majalah, dan beragam produk propaganda lainnya," jelas dia.
Baca juga: GFJA hadirkan sejarah kelam kolonialisme Belanda
Oscar menambahkan bahwa pameran itu juga menampilkan halaman depan koran Tjahaja yang diterbitkan di Bandung. Teras berita harian pimpinan Otto Iskandardinata itu menuliskan kutipan langsung Bung Karno, "Indonesia pasti merdeka, sebelum jagung berbunga. Bukan sebelum jagung berbuah, tetapi sebelum jagung berbunga Indonesia akan merdeka".
Sejumlah cetakan pers dan artefak perihal kumandang proklamasi yang kini disimpan oleh Perpustakaan Nasional RI, Arsip Nasional RI, Antara Foto, dan perusahaan rekaman legendaris, Lokananta di Solo (Jawa Tengah) juga dipamerkan.
Sebelumnya, dokumen-dokumen pers bersejarah tersebut pernah berada dalam cengkeraman sensor Jepang.
Pewarta: Libertina W. Ambari
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018