"Kebijakan ini sebenarnya langkah efisiensi dari BPJS yang akan menghemat kurang lebih Rp388 miliar defisit, tetapi apa yang terjadi kerugian yang lebih besar," kata Marsis di kantor PB IDI Jakarta, Kamis.
Dia mencontohkan Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan Nomor 3 tentang Persalinan Bayi Baru Lahir Sehat berpotensi menyebabkan bayi lahir dengan kecacatan atau penyakit komplikasi.
Pada peraturan tersebut mengubah paket pelayanan dengan tidak memasukan berbagai sarana untuk pencegahan pada persalinan bayi berisiko.
Anak yang terlahir cacat atau memiliki penyakit komplikasi akan membutuhkan perawatan dan biaya kesehatan yang juga dibiayi oleh BPJS Kesehatan.
Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Dr dr Aman Bhakti Pulungan Sp.A(K) mengatakan peraturan tersebut juga berpotensi meningkatkan angka kekerdilan atau stunting karena bayi yang terlahir cacat atau dengan penyakit komplikasi.
"Anak lahir cacat, segala macam bisa terjadi, gampang infeksi, pertumbuhan terganggu, stunting akan meningkat," kata Aman.
Ketua Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia Dr Johan Hutauruk Sp.M(K) mengatakan Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan Nomor 2 tentang Pelayanan Katarak juga berpotensi meningkatkan angka kebutaan di Indonesia.
"Walaupun dihemat oleh BPJS, tapi di masyarakat kerugiannya lebih besar. Angka kebutaan bukannya makin turun malah meningkat," kata Johan.
Dalam peraturan yang baru, BPJS Kesehatan hanya menjamin pelayanan operasi katarak dengan syarat visus atau ketajaman penglihatan pasien 6/18 yang dikategorikan sebagai buta sedang.
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018