• Beranda
  • Berita
  • Peniliti katakan banyak radikalis Indonesia tinggalkan kekerasan

Peniliti katakan banyak radikalis Indonesia tinggalkan kekerasan

3 Agustus 2018 16:33 WIB
Peniliti katakan banyak radikalis Indonesia tinggalkan kekerasan
Terpidana Terorisme Menjadi Pembicara Deradikalisasi Terpidana kasus terorisme, Umar Patek (kiri) berbincang dengan mantan narapidana kasus terorisme Jumu Tuani (kanan) saat menjadi pembicara dalam Seminar Resimen Mahasiswa Mahasurya Jatim di Hotel Savana, Malang, Jawa Timur, Senin (25/4/2016). Seminar bertema Kontra Radikal dan Deradikal Demi Mencegah Instabilitas dan Menjaga Keutuhan NKRI Dari Ancaman Terorisme tersebut juga dihadiri terpidana kasus bom bali Ali Imron. (ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto)

... ini bisa dialami terhadap taktik atau cara yang dilakukan di kelompok tersebut, kecewa pada pemimpin, dan kadang juga kecewa dengan peran diri sendiri. Ada yang mengatakan kecewa karena melihat terlalu banyak orang yang menjadi korban...

Yogyakarta (ANTARA News) - Peneliti dari Goucher College, Amerika Serikat, Dr Julie Chernov Hwang, mengemukakan, berdasarkan hasil riset, banyak para radikalis di Indonesia memilih meninggalkan cara-cara kekerasan dan kembali berbaur dengan masyarakat.

"Mayoritas mereka jalan lewat proses disengagement (meninggalkan kelompok mereka)," kata Hwang, saat membedah bukunya yang berjudul Why Terrorist Quit: The Disengagement of Indonesian Jihadists, di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Jumat.

Penelitiannya berlangsung pada 2010 hingga 2016.

Dalam penelitian itu, dia mewawancarai sebanyak 55 orang yang pernah atau pun sedang memiliki afiliasi dengan kelompok radikal berlatar Islam, di antaranya Jamaah Islamiyah, Laskar Jihad, Mujahidin KOMPAK, Tanah Runtuh, dan Ring Banten.

"Mereka adalah orang yang ada di penjara, tidak pernah ikut ke penjara, masih ikut kelompok mereka, dan tiga hingga empat orang ada di jaringan dan masih punya pikiran radikal," kata dia.

Hwang menyebutkan, berdasarkan hasil penelitiannya dari 55 orang ekstremis yang diwawancarai, 49 orang di antaranya memilih kembali berbaur dengan masyarakat. Meski beberapa mereka masih mau ikut aksi kekerasan.

"Hanya empat orang yang masih mau ikut aksi kekerasan atau masih ikut aksi yang mendukung kekerasan seperti membawa senjata," kata dia.

Ia mengatakan ada beberapa fase dalam proses reintegrasi seorang radikal, di antaranya timbul kealihsadaran yang berujung pada kekecewaan terhadap pemimpin kelompok dan aksi yang dilakukan.

"Kekecewaan ini bisa dialami terhadap taktik atau cara yang dilakukan di kelompok tersebut, kecewa pada pemimpin, dan kadang juga kecewa dengan peran diri sendiri. Ada yang mengatakan kecewa karena melihat terlalu banyak orang yang menjadi korban," kata dia.

Kekecewaan itu kemudian berlanjut pada rasionalisasi dampak keuntungan dan kerugian yang didapatkan dari kegiatan ekstremisme yang dijalankan.

Selain itu, hal lain yang tidak kalah penting adalah berkembang hubungan sosial dan pergaulan seorang jihadis di luar kelompok sepemikirannya, serta muncul prioritas-prioritas baru dalam hidup seorang jihadis yang menggantikan gagasan mereka tentang jihad.

Dari berbagai faktor pendorong disengagement yang ia temui, dia menyebutkan, relasi menjadi faktor yang paling banyak memberikan pengaruh. 

Ia mengutip pengakuan dari beberapa narasumber yang menyatakan bahwa relasi yang ia miliki, baik dengan orang-orang baru maupun kerabat yang ia kenal sebelum terlibat dalam kelompok jihad banyak berkontribusi dalam mengubah pikiran mereka.

"Selain relasi pertemanan, fungsi keluarga juga sangat penting untuk menolong mereka yang mau melepaskan diri dari kelompok jihad serta membantu mereka membangun hidup yang baru," kata Hwang.

Dalam bukunya, Julie mengulas proses psikologis, rasional, relasional, dan emosional kelompok ekstremis di Indonesia dalam melepaskan diri dari nilai-nilai kekerasan serta upaya mereka dalam berintegrasi kembali dengan masyarakat.
 

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2018